Setelah pemilihan nomor urut peserta, gelaran pilkada DKI Jakarta memasuki fase paling “keras” yakni masa kampanye yang akan dimulai Jumat 28 Oktober. Melihat deretan artis yang mengelilingi para kandidat, masa kampanye sepertinya tidak akan menjadi ajang adu program dan visi-misi, tetapi kontes artis. Jangan salahkan masyarakat Jakarta jika kelak pemenangnya bukan Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan atau Agus Harimurti Yudhoyono, tetapi Sophia Latjuba, Olla Ramlan atau Dessy Ratnasari.
Tanda-tanda pilkada bukan adu program dan visi-misi para calon gubernur sudah terendus sejak pendaftaran pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur ke KPUD. Diawali munculnya nama Sophia Latjuba dalam tim pemenangan Ahok-Djarot, kubu Anies-Sandiaga langsung memunculkan nama Olla Ramlan. Kubu AHY-Sylviana tidak mau ketinggalan.
Meski AHY sudah cukup pede dengan membawa Anissa Pohan- sang istri yang mantan artis, namun partai pendukungnya, terutama PAN, yang memiliki kader dari kalangan artis, ikut bereaksi. Nama Dessy Ratnasari, Venna Melinda, Oky Asokawati hingga Arzeti Bilbina yang saat ini menjadi anggota DPR, dipasangan sebagai vote getter. Lihatlah pernyataan Ketua DPW PAN DKI Jakarta, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio.
"Saya harap nanti Sophia Latjuba bisa head to headdengan Desi Ratnasari,” kata juri stand up comedy di salah satu stasiun TV itu di sini.
Mengapa pola pikir untuk “mengelabui” masyarakat dengan gincu artis masih menjadi pilihan para politisi? Apakah ini cerminan ketidakpercayaan mereka terhadap program kerja dan visi-misi yang ditawarakan? Ataukah mereka terjebak asumsi bahwa pemilih dalam kontestasi politik tidak pernah peduli pada program kerja calon pemimpinnya sehingga mau memberikan suaranya untuk calon yang didukung oleh artis idolanya? Ataukah mereka menganggap perempuan-perempuan cantik itu hanya sekedar “pemoles bibir” sebagaimana umbrella girl di lintasan F1?
Apa yang ditampilkan oleh tim sukses kandidat pilkada DKI sangat kontradiksi dengan asumsi yang berlaku umum di mana masyarakat Jakarta dikenal sebagai pemilih (yang) rasional. Sudah banyak artis yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPRD di daerah pemilihan Jakarta, rontok. Munculnya nama Masinton Pasaribu (PDIP) yang mengalahkan artis senior Jenny Rachman (Partai Demokrat) dan Dwiki Darmawan (PAN) di dapil Jakarta II, atau nama Ahmad Sahroni (Nasdem) yang mengalahkan Vera Febriyanthy (Demokrat), Ida Royani serta Jeremy Thomas (PAN) di dapil Jakarta III, pada pemilu legislatif 2014 lalu, cukup menjadi bukti tingkat rasionalitas pemilih di Jakarta. Ketenaran nama bukan jaminan untuk meraih simpati dan dipilih oleh masyarakat Jakarta.
Faktor kedekatan dan citra tokoh partai pendukung menjadi alasan utama pemilih Jakarta pada Pemilu 2014 karena pemilu legislatif memang bukan pertarungan program dan visi-misi kandidat (caleg) melainkan program, dan visi-misi partai atau tokoh-tokoh besar di tubuh partai.
Tetapi ingat faktor kedekatan personal tetap menjadi alasan utamanya, Hal itu bisa dilihat dari keterpilihan calon berdasarkan perolehan suara murni (memilih calon), bukan partai. Sebagai contoh Masinton yang berada di nomor urut 3 caleg PDIP untuk Dapil Jakarta II memperoleh 30.989 suara murni, mengalahkan perolehan suara caleg PDIP nomor urut 2 dr Amendi Nasution. Demikian juga kegagalan Fadjar Panjaitan ke Senayan.
Sama-sama diusung oleh PDIP di dapil Jakarta III Fajar dikalahkan oleh Charles Honoris yang berada di urutan nomor 7 dengan perolehan suara mencapai 96.842 suara. Sementara Fajar yang berada di urutan nomor 6 hanya memperoleh sekitar 35,000 suara. Padahal secara umum, nama Fajar jauh lebih terkenal karena pernah menjadi Sekda DKI di masa Fauzi Bowo.
Kegagalan Marzuki Alie yang maju melalui Partai Demokrat di dapil Jakarta III bisa dijadikan contoh bagaimana isu partai tempatnya bernaung juga dapat mempengaruhi elektabilitasnya. Seperti diketahui, menjelang Pemilu 2014 Partai Demokrat mengalami turbulensi akibat skandal mega korupsi yang melibatkan para punggawanya seperti Anas Urbaningrum, Nazaruddin hingga ikon Demokrat Angelina Sondakh. Secara nasional perolehan suara Demokrat pada Pemilu 2014 pun anjlok dratis. Posisinya dari partai pemenang pada Pemilu 2009 turun ke posisi 4 di bawah PDIP, Golkar dan Gerindra.
Gambaran di atas cukup untuk dijadikan alat ukur terkait kecenderungan pemilih di Jakarta. Faktanya mereka lebih mengedepankan rasionalitas dibanding fanatisme, apalagi sekedar ngefans. Polesan gincu tidak akan berpengaruh secara siginifikan terhadap perolehan suara kandidat. Kehadiran Sophia Latjuba tidak akan serta-merta mendongkrak perolehan suara pasangan Ahok-Djarot. Demikian juga kehadiran Olla Ramlan di kubu Anies dan Dessy Ratnasari di kubu AHY.