Pengangkatan Arcandra Tahar sebagai wakil menteri (wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus menuai kecaman terutama dari politikus PKS dan Gerindra seperti Ramso Siagian, Hidayat Nur Wahid dan Nasir Djamil. Bahkan nama terakhir menuding presiden tidak memiliki ukuran yang jelas dalam mengangkat pejabat negara seperti dikutip di sini
Namun secara umum, pengangkatan Arcandra Tahar mendampingi Ignasius Jonan, tidak sekeras saat pertama dilantik sebagai menteri ESDM. Ketika itu Arcandra diketahui memiliki paspor USA sehingga sesuai Pasal 23 huruf (a), (f), dan (h) UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia secara otomatis yang bersangkutan tidak lagi menjadi WNI. Dengan demikian pengangkatannya sebagai menteri melanggar UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya Pasal 22 di mana syarat pengangkatan seorang menteri harus seorang WNI. Kuatnya tekanan publik memaksa Jokowi melengserkannya dari kursi menteri yang baru diduduki selama 20 hari.
Saat ini, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly ketika rapat dengar pendapat dengan dengan Komisi III DPR, status Arcandra tetap WNI sesuai prinsip perlindungan maksimum dan non apatride stateless. Pernyataan diperkuat dengan fakta Arcandra sudah mengajukan pengunduran diri sebagai warga negara Amerika Serikat pada 12 Agustus dan disetujui pemerintah AS pada 15 Agustus sepeti dikutip dari KOMPAS.com
Pernyataan Yasona Laoly memang masih menyisakan tanya karena ada yang menganggap status WNI Arcandra hanya bisa dipulihkan melalui prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU N0 12/2006. Tetapi akankah kita menghabiskan energi untuk berdebat atas sesuatu yang hanya didasarkan pada beda tafsir UU? Jika pada kasus terdahulu, pijakan mereka yang kontra cukup kuat, tidak demikian halnya sekarang karena Arcandra sudah melepas kewarganegaraan asingnya.
Alangkah baiknya jika energi kita dialihkan untuk melihat kinerja duet Jonan-Arcandra dalam membenahi carut-marut di bidang energi, terutama tata kelola gas yang saat ini mendapat perhatian serius Presiden Jokowi. Tentu salah satu tolok ukur keberhasilan duet keduanya dalam waktu dekat ini adalah merealisasikan penurunan harga gas (industri) dalam negeri sebagaimana diminta presiden beberapa waktu lalu. Jokowi bahkan memberi tenggat tiga bulan untuk menurunkan harga gas (industri) yang sempat dijawab oleh Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan dengan ide impor gas.
Ide tersebut sangat berbahaya karena bisa menjegal Nawa Cita Presiden Jokowi. Menunjuk atau pun mendirikan perusahaan baru untuk impor bahan bakar sama saja dengan menghidupkan kembali Petral dengan cover baru tapi isinya sama: memburu rente dari impor bahan bakar. Inikah tujuan utama Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto jauh-jauh hari sudah mendukung Jokowi untuk Pilpres 2019? Sebab bukan rahasia lagi jika Setya Novanto memiliki kedekatan khusus dengan mantan 'raja' Petral Reza Chalid.
Kita tunggu apakah Jonan-Arcandra sepakat dengan ide Luhut. Melihat track record Jonan selama ini, ada keyakinan Jonan akan menolak membuka kran impor gas. Sebab produksi dalam negeri sangat berlimpah. Produksi gas Indonesia Tahun 2015 tercatat sebesar 75 milyar M3 sementara konsumsi pada tahun yang sama hanya 39,7 milyar M3.
Melakukan pembenahan sektor hulu, terutama terkait kontrak dengan kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di bidang energi, serta memperpendek alur distribusi gas dari hulu-hilir, menjadi pilihan yang lebih realistis dibanding melakukan impor.
Tentu masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi Jonan-Arcandra di sektor sumber daya alam. Alangkah bijaknya jika kita memberi kesempatan kepada mereka, terutama Arcandra, untuk membenahi berbagai persoalan yang membelit sektor energi, terutama minyak dan gas. Sudahi polemik keabsahan kewarganegaraannya!
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H