Manuver Partai Golkar menjegal Teman Ahok- relawan pengumpul KTP dukungan untuk kandidat petahana Pilgub DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), sukses. Ahok semakin ragu bisa lolos verifikasi faktual dengan metode sensus meski saat ini jumlah KTP dukungan yang sudah berhasil dikumpulkan Teman Ahok mendekati satu juta.
Ahok akan segera menemui Teman Ahok untuk membicarakan untung-ruginya menggunakan jalur independen dan jalur partai politik. Namun secara tersirat Ahok sudah memutuskan maju melalui jalur partai politik alias bus mewah seperti yang dianalogikan saat memutuskan jalur independen.
“Kalau anda (Teman Ahok) berniat saya jadi gubernur, anda mau tempuh jalan susah apa jalan mudah? Kalau jalan perseorangan, saya mesti tandatangan puluhan ribu (formulir). Kalau (maju) pakai partai, saya cuma butuh tiga materai. Nah kamu mau tempuh yang mana?” seperti dikutip dari kompas.com
Seperti diketahui, dengan masuknya Golkar ke dalam barisan pendukung Ahok- menyusul Nasdem dan Hanura, maka Ahok memiliki 24 kursi pendukung di DPRD DKI. Dengan dukungan kursi sebanyak itu, Ahok sudah memiliki “bus” nan aman dan nyaman untuk mengikuti kontestasi Pilkada Jakarta 2017 mendatang. Ahok tidak perlu jantungan dan “marah-marah” menunggu kinerja KPU melakukan verifikasi terhadap KTP pendukungnya. Sebab Ahok paham betul siapa saja orang-orang yang telah suka rela menggandakan KTP untuk mendukung dirinya. Mereka bukan kaum pinggiran, ibu-ibu rumah tangga di kampung-kampung kumuh yang nyaris setiap hari di rumah. Mereka juga bukan ibu-ibu pengajian.
Mayoritas pendukung Ahok adalah anak-anak muda yang baru paham politik, pengusaha dan kelompok menengah atas yang diuntungkan dengan kebijakan Ahok. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bukan saja mau dengan suka rela menyerahkan copy KTP, namun juga mau membeli kaos bergambar Ahok yang mungkin tidak dibutuhkan karena setelah dibeli langsung disimpan di lemari. Mereka orang-orang yang pada siang hari sangat jarang ada di rumah jika tidak ada sesuatu yang sangat penting.
Imbauan libur sehari agar mereka tetap di rumah saat dilakukan verifikasi faktual jelas tidak efektif. Masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk melakukan verifikasi selama 14 hari sehingga tidak dapat dipastikan kapan petugas PPS datang ke rumahnya. Tidak mungkin juga petugas PPS mendatangi seluruh pendukung Ahok yang berjumlah satu juta itu pada hari dan tanggal yang sama. Sementara pendukung Ahok juga tidak bisa datang secara serentak ke kantor PPS karena harus menunggu terlebih dahulu petugas PPS datang ke rumah mereka dan menyatakan yang bersangkutan tidak bisa ditemui sehingga harus datang ke kantor PPS dalam rentang waktu tiga hari.
Sebagai politisi ulung, Ahok paham benar kesulitan itu. Semangat, militansi, siap rugi waktu, tenaga dan uang yang digelorakan Teman Ahok, tidak selamanya tepat diterapkan dalam permainan politik. Manajerial Teman Ahok sangat bagus untuk organisasi sosial, tapi tidak untuk urusan politik.
Jika Ahok benar-benar maju melalui jalur partai politik (parpol), maka hal ini membuktikan kepiawaian politisi Golkar dibanding PDI Perjuangan. Golkar pandai membaca tik-tok Ahok dan masuk tepat di saat Ahok limbung pasca pengesahan RUU Pilkada oleh DPR di mana pada pasal 48 Ayat 3 mensyaratkan dilakukannya verifikasi faktual dengan metode sensus terhadap pendukung calon independen. Golkar menurunkan sedikit ego kepartaiannya agar diberi jalan masuk. Setelah berada di dalam, barulah Golkar memainkan tujuan sebenarnya.
Sedangkan politisi PDIP hanya bisa mencak-mencak di belakang setelah Ahok memutuskan menggunakan jalur independen, menggandeng Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah Provinsi DKI Heru Budi Hartono. Keyakinan yang terlalu tinggi jika Ahok tidak akan keluar dari kandang banteng mengingat besarnya dukungan PDIP dalam mengamankan kebijakan Ahok selama menjadi Gubernur DKI, membuai mereka dalam ilusi semu. Ketika mereka terjaga, semuanya sudah sangat terlambat. Proses penjaringan calon sudah berjalan dan Ahok tidak ikut di dalamnya. Jalan untuk menarik Ahok sudah nyaris mustahil karena akan menabrak mekanisme penetapan calon peserta pilkada yang selama ini berlaku di PDIP.
Jalan terbaik bagi PDIP saat ini adalah:
- Bergabung dengan gerbong Golkar, Nasdem dan Hanura dengan menyodorkan Djarot Saiful Hidayat sebagai wakil Ahok.
- Merangkul Gerindra, PKS, Demokrat dan partai-partai lainnya untuk mengusung pasangan calon sendiri.
- Mengeluarkan kader terbaik yang memiliki elektabilitas cukup tinggi tanpa opsi bagi partai lain yang ingin ikut mengusung. Djarot – Kang Yoto, Djarot – Yoyok atau Djarot- Sjafrie Sjamsuddin langsung diputuskan tanpa menunggu kompromi dengan partai lain agar relawan Djarot bisa segera bekerja membangun elektabilitasnya. Harapannya partai lain akan bergabung atau membentuk koalisi untuk mengusung calon sendiri sehingga Pilgub DKI akan diikuti tiga pasangan calon. Dengan begitu, pertarungan sesungguhnya akan terjadi pada putaran kedua.
Salam @yb