Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Es Cendol Pak Wage

12 Juni 2016   10:52 Diperbarui: 13 Juni 2016   10:31 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Eternity Gate

PAK Wage terjaga dari mimpi bersamaan dengan terdengarnya adzan Subuh. Sejenak matanya mengawasi jelaga yang banyak bergantungan di atap rumah sambil meresapi alunan adzan. Entah sudah berapa lama ia tidak pernah lagi membasuh wajahnya dengan air wudhu. Keinginan untuk itu memang selalu menggelitik nuraninya. Namun sangat sulit bagi Pak Wage untuk bisa khusyu di tengah himpitan kebutuhan hidup sehari-hari.

Bunyi peralatan dapur yang saling beradu menyadarkan Pak Wage untuk segera beranjak dari tempat tidur. Istrinya sudah bangun. Sudah memulai rutinitas yang dijalaninya semenjak menjadi pendamping penjual es cendol. Membikin santan, cendol dan meramu air gula yang dicampur zat pewarna. Bila cendol yang kemarin tidak habis maka akan diolah lagi lalu diikutkan dengan yang baru.

Mungkin kurang memenuhi standar kesehatan. Namun bagi Mbok Wage persoalannya tidak sesederhana itu. Jika cendol sisa kemarin dibuang, itu sama saja dengan membuang keuntungan atau bahkan modal. Karena tidak habis otomatis penghasilan Pak Wage berkurang. Jika uang itu digunakan untuk membeli bahan baru semua, besar kemungkinan Mbok Wage harus mencari pinjaman beras di warung. Pola itu sudah dihafal di luar kepala dan puluhan kali dipraktekan.

Pak Wage melewati dapur terus menuju ke belakang. Di sana ada sebuah kayu yang melintang di atas parit. Tempat itu terlindung oleh rumpun bambu. Di situlah biasa Pak Wage membuang hajat sambil memuaskan lamunan. Merenungi kembali perjalanan hidupnya yang semakin sulit. Di usianya yang sudah lewat setengan abad sebenarnya ia sudah ingin mengundurkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan dan mulai melakukan penyerahan diri pada Sang Pencipta sebagai bekal perjalanan di alam nanti.

Sekilas Pak Wage teringat pada dua anaknya, si sulung dan adiknya, yang sekarang entah berada di mana. Setelah menyelesaikan sekolah menengah pertama, si sulung langsung pergi merantau ke Jakarta. Mengadu nasib. Tiga bulan kemudian dia pulang untuk mengambil adiknya. Pak Wage sempat berbunga harapannya. Di tahun pertama mereka masih sering berkirim kabar dan juga uang. Namun selepas itu, jejaknya hilang seperti ditelan bumi.

Sudah tiga belas tahun lebih komunikasi di antara mereka terputus. Pernah ada yang bilang mereka sekarang berada di Malaysia. Sementara lainnya mengatakan dengan yakin, kedua anak Pak Wage berada dalam penjara karena kasus perampokan disertai pembunuhan. Entahlah. Pak Wage sendiri enggan mencari kebenarannya.

Tingkah Lastri lebih parah lagi. Anak ketiga Pak Wage itu hanya tahan dua tahun ikut suaminya sebelum kemudian purik dan kembali menjadi tanggungan orang tuanya. Dari selentingan kanan-kiri Pak Wage tahu, Lastri sering mangkal di pojok pasar. Tidak ada alasan Pak Wage untuk melarang. Lastri jelas perlu uang buat memenuhi kebutuhannya sendiri. Selepas dari suaminya Lastri memang pernah bekerja jadi pembantu di Bandung selama lima bulan. Ia terpaksa pulang karena perutnya berisi janin. Pak Wage juga yang repot ketika Lastri tak sadarkan diri saat menggugurkan kandungannya.

Dua anak laki-laki lainnya, adik Lastri, sekarang semakin jarang di rumah. Sesekali pulang dengan mulut bau alkohol. Entah dari mana mereka memperolah uang untuk membeli minuman keras itu. Tapi Pak Wage yakin suatu hari nanti pasti akan ada polisi datang ke rumahnya untuk menjemput mereka. Dan Pak Wage sudah mempersiapkan diri untuk hal itu.

***

Bergegas Pak Wage menuntaskan hajatnya. Ia harus segera mengambil alih tugas istrinya di dapur. Sering Pak Wage trenyuh sendiri melihat istrinya sibuk mengurusi keperluan anak perempuannya yang baru kelas satu di sekolah dasar sambil mengendong si bungsu. Pak Wage sebenarnya sudah tidak berharap akan mempunyai anak lagi. Tetapi takdir berkata lain dan akhirnya Pak Wage menerimanya sebagai karunia.

Pak Wage segera mendorong gerobak es cendolnya diiringi pertengkaran istrinya dengan Lastri yang baru pulang dengan pakaian kusut dan aroma rokok. Mengapa kamu tidak sekalian menetap di lokalisasi saja Nak, jerit hati Pak Wage. Nelangsa. Kakinya sedikit gemetar. Setiap dua puluh lima meter ia perlu berhenti untuk membuang dahak. Namun Pak Wage tetap memaksakan diri. Libur satu hari bisa membuat mulut istrinya ngomel tanpa henti sampai matanya terpejam. Omelan khas orang susah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun