Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ini yang Terjadi jika Pilgub Jakarta Tanpa Ahok

24 Mei 2016   08:48 Diperbarui: 24 Mei 2016   19:05 7631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. (KOMPAS.com/ GLORI K WADRIANTO)

Harus diakui, gebyar pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017 sangat semarak karena keikutsertaan calon petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Terlebih ketika Ahok memutuskan untuk maju melalui jalur independen. Banyak pihak merasa tertampar karena sebelumnya tidak terpikirkan oleh para politisi dan pengamat munculnya calon dengan membawa tiga minoritas sekaligus yakni beretnis China, beragama Kristen Protestan dan beretnis Belitung.

Para politisi semakin ‘panas’ hatinya manakala elektabilitas Ahok melejit melebihi partai politik. Dalam waktu singkat, Ahok kemudian berhasil berhasil mengumpulkan dukungan dari warga DKI dengan jumlah melebihi perolehan suara partai-partai besar. Dengan elektabilitas sekitar 50 persen berdasarkan survey Populi Center yang digawangi Suny Tanuwidjaja dan Cyrus Network yang menjadi penyandang dana awal berdirinya Teman Ahok- organisasi yang bertugas mengumpulkan copy KTP dan dukungan warga DKI untuk pencalonan Ahok, maka dengan mudah Ahok akan mengalahkan siapa pun calon yang diusung oleh partai politik, baik PDIP, Gerindra, PKS, Demkorat Golkar, PKB, PPP maupun PAN, atau bahkan gabungan seluruh partai politik tersebut- minus Nasdem dan Hanura yang sudah jauh-jauh hari mendukung Ahok.

Antusiasme warga untuk terlibat dalam hajat demokrasi lima tahunan di Jakarta juga terlihat sangat tinggi. Selain di mall-mall, posko Teman Ahok banyak didirikan di pemukiman penduduk, terutama dekat gereja seperti di daerah Kramat 5 Jakarta Pusat, tepatnya di depan Gereja Gideon. Belum lagi keriuhan yang terjadi di media-media mainstream dalam jaringan maupun media sosial serta blog keroyokan semacam Kompasiana. Tensinya lebih tinggi dibanding Pilgub 2012, apalagi 2007. Suka atau tidak, diakui maupun tidak, Ahok telah membawa fenomena tersendiri dalam kancah perpolitikan di tanah air, khususnya di Jakarta.

Lalu bagaimana jika Ahok gagal ikut dalam kontestasi Pilgub DKI 2017? Kemungkinan itu sangat terbuka didasari pada beberapa fakta.

Pertama, belum dilakukan verifikasi copy KTP dan surat dukungan yang akan digunakan Ahok untuk maju melalui jalur independen. Dari pengalaman pilkada beberapa daerah, prosentase KTP dukungan yang dibatalkan KPU sangat tinggi. KPU juga pernah membatalkan beberapa pasangan calon yang maju dari jalur independen terkait hal itu. Contohnya dalam pilkada di Kabupaten Kendal Jawa Tengah 2015 lalu. Namun kemungkinan Ahok batal karena persoalan ini sangat kecil karena jumlah dukungan yang dikumpulkan Ahok sudah jauh dari batas minimal yakni 532.000. hingga Senin (23/5) pukul 23.30, jumlah KTP dukungan sudah menembus angka 874.763. Padahal masa pengumpulan KTP dukungan akan terus dilakukan hingga Juli 2016 mendatang sehingga target 1 juta KTP dukungan sepertinya akan tercapai.

Kedua, belitan sejumlah kasus yang kini tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Fakta bahwa Ahok sudah diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras dan kasus suap reklamasi Teluk Jakarta, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Jika sampai Ahok ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan untuk kasus-kasus tersebut, maka sulit bagi Ahok untuk bisa mencalonkan diri. Meski UU pilkada yang terbaru pun yakni UU No.8 Tahun 2015, tidak ada larangan bagi seorang tersangka untuk mengikuti proses pilkada, namun seseorang yang tengah ditahan akan terkendala untuk mengikuti tahapan pilkada yang membutuhkan kehadiran calon secara langsung seperti permohonan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), pendaftaran, tes kesehatan dan pemaparan visi-misi/debat kandidat.

Namun jika penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh KPU, maka proses pencalonannya tidak bisa digugurkan. Jika menang tetap akan dilantik sebagaimana Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah, Hambit Bintih yang dilantik di penjara KPK, 2013 silam.

Ketiga, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang akan dipasangkan dengan Ahok, menjadi tersangka dan ditahan KPK. Heru tercatat sudah dua kali diperiksa KPK. Pemeriksaan pertama terkait proses penentuan hak pengelolaan lahan di pulau-pulau reklamasi yang berada di Pantai Utara Jakarta, sementara pemeriksaan kedua sebagai saksi dalam kasus suap yang dilakukan Bos Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja kepada Ketua Komisi D DPRD Jakarta M. Sanusi.

Dari paparan itu, bukan mustahil Ahok benar-benar gagal maju Pilgub DKI. Jika pun poin ketiga yang terjadi, Ahok tidak sempat lagi untuk mengumpulkan KTP dukungan dengan pasangan barunya. Satu-satunya jalan, jika masih ada waktu, mungkin akan maju melalui partai politik karena Ahok sudah didukung oleh Nasdem dan Hanura yang total memiliki 15 kursi di DPRD DKI. Artinya Ahok hanya butuh dukungan 7 kursi lagi dan itu dengan mudah bisa didapat dari Golkar (9 kursi) karena melihat kedekatan Ahok dengan Ketua Umum Golkar Setya Novanto.

Jika sampai Pilgub DKI Jakarta 2017 tanpa keikutsertaan Ahok, bisa dipastikan akan terjadi beberapa hal seperti :

Pertama, pilkada DKI akan kehilangnya greget. Pertarungan antar calon-calon yang namanya sudah bersliweran seperti Yusril Ihza Mahendra, Djarot Saiful Hidayat, Suyoto dll, tidak memiliki barisan pendukung fanatik seperti Ahok. Mereka juga tidak memiliki ‘kasus’ yang menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Track record mereka datar-datar saja sehingga kurang menarik untuk diulas karena dipastikan tidak akan menimbulkan reaksi balik seperti yang diharapkan.

Kedua, rendahnya partisipasi pemilih. Selama ini partisipasi warga DKI yang memberikan suaranya dalam hajat demokrasi bertajuk pilkada maupun pemilu dan pilpres sangat rendah. Tercatat dari empat kali pemilu legislatif (1999, 2004, 2009 dan 2014) tingkat partisipasi di Jakarta secara konsisten mengalami penurunan dari 92,99% pada Pemilu 1999, turun menjadi 84,07% (pemilu 2004), kembali turun menjadi 70,99% (pemilu 2009) dan terakhir tinggal tersisa 66,5% pada pemilu 2014.

Demikian juga dalam gelaran pilgub. Pada putaran pertama pilgub DKI 2012 partisipasi pemilih hanya 53,4%, kalah dibanding putaran pertama pilgub 2007 yang mencapai 64,6%. Sedangkan pada putaran kedua pilgub 2012 tingkat partisipasi pemilih hanya 66,7%, lebih rendah 0,01 persen dibanding putaran kedua pilgub 2007.

Munculnya Ahok pada pilgub DKI 2017, memberikan harapan pada peningkatan jumlah partisipasi pemilih. Harapan itu itu muncul setelah melihat keberhasilan temanahok mengumpulkan KTP dukungan. Meski ada yang nyinyir KTP tersebut hanya berasal dari satu golongan, plus para pekerjanya yang dipaksa untuk mengumpulkan KTP, namun tetap saja hal itu sebuah fenomena menarik. Artinya, kelompok masyarakat yang selama ini malas menggunakan hak pilih, dan lebih suka menghabiskan waktu liburannya (hari pencoblosan biasanya diliburkan) di tempat-tempat peristirahatan yang jauh dari keramain atau tempat-tempat aman lainnya untuk menghindari keributan yang mungkin terjadi, dipastikan akan ikut memberikan suaranya pada pilgub 2017.

Namun jika sampai Ahok tidak ikut dalam kontestasi Pilgub DKI, maka kemungkinan mereka tidak akan menggunakan hak pilihnya. Tingkat partisipasi pemilihan pun dipastikan akan kembali turun.

Ketiga, resistensi turun. Munculnya ahok dengan membawa tiga minoritas telah menciptakan ketegangan yang tinggi di tengah masyarakat. Isu suku, agama dan ras (SARA) didengungkan oleh semua kubu, termasuk kubu Ahok. Pelabelan atau julukan onta yang diberikan kepada mereka yang kontra Ahok, jelas merujuk pada identitas keagamaan seseorang meski didalihkan pada arti lain. Sementara kubu kontra Ahok pun dengan gampang memberikan gelar kafir dan antek China kepada siapa saja yang pro Ahok. Belum lagi sebutan-sebutan lain yang tidak enak untuk didengar karena merujuk pada hal-hal yang negatif.

Dengan tidak ikutnya Ahok dalam kontestasi pilkada DKI, otomatis hal-hal semacam itu akan hilang. Jika seluruh calonnya Muslim, maka tidak ada lagi pelabelan onta maupun antek China. Masyarakat tidak akan terkotak-kotak dalam ikatan ada dasar kesukuan dan agama. 

Namun andai itu terjadi- Ahok batal ikut kontestasi pilkada Jakarta di luar urusan hukum, berarti kita telah mundur ke zaman pra reformasi. Demokrasi yang telah dibangun susah payah, dengan mengorbankan jiwa, darah dan air mata, menjadi sia-sia.

Terlepas dari yang disebutkan di atas, pilihan apakah kita akan terus berdemokrasi dengan saling ejek yang menjurus pada hal-hal sensitif dan berpotensi untuk terjadinya gesekan di tengah masyarakat, ataukah berdemokrasi secara santun, dengan saling menghargai perbedaan pilihan, ada di tangan kita sendiri kita sendiri. Mari kita tentukan.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun