Setelah Ahok menjadi Gubernur, orang miskin pun diminta berpartisipasi dalam mengurangi kemacetan di Jakarta. Maka diberlakukanlah larangan motor melintas di jalan-jalan protokol (targetnya semua jalan di  ibukota). Meski dongkol, karena banyak wilayah di Jakarta yang sulit ditempuh tanpa melewati jalan-jalan utama, namun pemilik motor pun akhirnya menerimanya.  Namun reaksi Ahok terhadap kasus ekploitasi anak dengan cara ingin menghapus kebijakan 3 in 1 kembali mencuatkan rasa sentimen kaya-miskin yang luar biasa. Mengapa hanya orang miskin yang selalu dijadikan korban dalam setiap kebijakan yang diambil Ahok? Ini bukan masalah iri hati melihat orang kaya, tapi soal kebijakan seorang pemimpin daerah yang mestinya tidak menguntungkan satu pihak dengan cara menggencet pihak lain.
Jika awalnya motor dilarang melintasi jalan-jalan protokol dengan alasan kemacetan, meski nyatanya kemacetan tidak juga terentaskan, jangan lantas mencabut kebijakan yang hanya menguntungkan orang kaya. Jika hendak mencabut ketentuan 3 in 1, cabut juga larangan motor untuk melintas di jalan yang sama.
Memang kurang elok mengatakan larangan motor -yang merupakan alat transportasi orang-orang miskin, melintas di jalan-jalan utama di Jakarta demi kelancaran mobil orang-orang kaya. Seolah mempertentangkan kelas sosial. Tetapi dampaknya memang ke situ. Anda yang tinggal di luar Jakarta tidak akan paham tentang hal ini. Hanya kami yang setiap hari bergelut di jalanan Jakarta yang merasakannya. JIka Anda warga miskin di Jakarta, tentu Anda tidak akan membuat surat pujian kepada Ahok hingga berdarah-darah.
Beruntung kami sekarang memiliki Kapolda baru. Â Kapolda Metro Jaya yang sekarang, Irjen Pol Moechgiyarto, tidak mau begitu saja mengikuti kemauan Ahok. Kapolda mengatakan wacana Ahok terkait penghapusan 3 in 1 akan dikaji terlebih dahulu secara bersama-sama. Meski mungkin kelak karena kuatnya beking Ahok wacana penghapusan 3 in 1 akan tetap dilaksanakan, setidaknya sekarang kami merasa punya pelindung, punya pengayom.
Â
Salam @yb