Mohon tunggu...
Yonathan Rahardjo
Yonathan Rahardjo Mohon Tunggu... -

Novelis berbasis drh-pelukis-penulis-pembacapuisi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia Menghadapi Manusia

17 Oktober 2014   20:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:39 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pesan mereka banyak. Tidak usah dikomentari, nanti balasannya tak henti-henti. Setelah segala capek dan gagal itu akan diuarkan semua olehnya mulutnya yang tak kenal capek. Kita sendiri yang rugi mendengar kata-kata buruk dari tabiat seperti itu. Yang lain lagi bilang, kalau sudah gagal, yang merasakan adalah hatinya sendiri. Sudah gagal seperti itu lantas kita serang lagi, bisa kalap. Dan melakukan apapun secara nekat. Jadi biarlah, semua sudah tahu bahwa acara itu memalukan daerah sebesar ini. Nama besar pimpinannya dipertaruhkan. Semua tahu gagal. Faktornya banyak. Karena tak mau mendengar masukan. Hanya mengandalkan pikiran sendiri yang dianggap benar. Dan sebetulnya indikasi suatu kebersamaan untuk badan rakyat itu mudah, di mana para anggotanya sejumlah 50 persen plus satu. Tidak ada. Ini sudah patut dipertanyakan oleh yang dipercaya memimpin daerah ini. Kalau yang ada hanya satu plus satu ... Yah ... Sedangkan kita, biarlah kita lakukan yang ada secara cair ini. Tanpa ada yang merasa disakiti bila datang di sini. Mereka toh juga berhak untuk itu. Karena cair, acara kita ini milik semua yang mau datang dan merayakan. Kita apresiasi semua. Meski sesungguhnya kedatangan mereka pada acara tempo hari adalah juga memberi wadah baginya untuk merangkul kawan-kawannya sendiri, yang telah memperjuangkannya menduduki posisi yang terhormat itu. Nyata tak memanfaatkan momen itu untuk hal yang sepantasnya, ya apalah daya, memang begitu ia ... Dalam bersosial dalam perjuangan kehidupan mengisi kemerdekaan, kita memang menghadapi berbagai karakter orang sebangsa dan setanah air yang kompleks, macam-macam watak wayang, mulai dari paling pojok kiri Kurawa dan denawa yang paling kecil sampai pojok paling kanan Pandawa, satria dan orang suci yang paling kecil. Dari kecil ke kecil ..., itulah nyatanya kita. Seperti yang pernah kukatakan ketika menjawab pertanyaan kawan, apa oleh-olehku dari peziarahan Blongsong, "Yang besar itu kecil, yang kecil itu besar.
Sastrawan itu hatinya peka, katanya. Aku membenarkan. Kemudaannya tak berbanding lurus dengan kesuksesannya. Biasa, sekarang banyak orang muda sukses. Bahkan presiden terpilih juga berumur tak jauh beda. Gubernur, walikota, bupati. Mereka semua muda. Pantas memanggil bupati Mas. Ya, jadi dengan acara lokal yang berambisi nasional bahkan global itu, sebagai orang yang sudah berkiprah nasional, pantas membantu dengan doa. Lagi-lagi saran ini datang dari orang muda itu. Benar, benar. Yang kecil itu besar, yang besar itu kecil. Bersyukurlah ada orang-orang lokal yang berdedikasi meski banyak mengundang benci perbuatan sengkuninya. Rata-rata juga berpendapat demikian. Yang penting kegiatan jalan. Yang satu pihak yang penting jalan meski melibatkan sengkuni pelupa kawan sering seperjuangan asal bisa berhangat sendiri. Yang lain peniada transparansi. Yang lain lagi pemaksa kehendak. Yang lain lagi oporkaki sana sini. Yang lain lagi penodong tanpa etika. Yang lain lagi penawar diri ... Dan masih banyak lagi. Itu semua, anggaplah kekurangan di balik kelebihan. Orang mau maju memang tidak sama cara dan jalannya. Diberiahu dan dikasih masukan tidak bakal menerima dengan baik-baik, apalagi kalau caranya frontal. Yang ada malah permusuhan dan perang darah. Tidak akan ketemu. Mereka sudah punya tabiat seperti itu sedari kecil. Terlihat dari cara mereka bermain mobil-mobilan, boneka, atau pistol-pistolan, atau pedang-pedangan atau wayang-wayangan. Mau disikapi sebesar apapun dengan tembok setinggi apapun, tetap tidak akan berhenti. Apalagi kalau shio-nya tikus. Perspektif pemikiran sudah beda. Tidak ada yang dipaling benarkan, meski hati nurani terusik tetap tertutupi juga. Jadi ... silakan memilih jalan terbaik untuk diri sendiri sesuai dengan kenyamanan hati nurani sendiri. Lalu tentukan langkahmu langkah superdaerah, daerah, regional, atau nasional, atau bahkan internasional. Hal serupa itulah yang dipilih oleh para negarawan yang sanggup menyatukan perbedaan menjadi persatuan. Tepatnya menghormati perbedaan untuk sebuah persatuan dan kesatuan. Menjaga perbedaan? Agaknya kamu sendiri yang tahu, perbedaan macam apa yang patut dibiarkan ada, dan perbedaan mana yang patut dibasmi. Apa memang ada perbedaan yang harus dibasmi?
Jadi ketika kamu menjumpai banyak orang berbeda cara pandang, ingatlah terhadap dirimu sendiri yang punya latar belakang beda dengan mereka. Kamu mengharapkan proses dan hasil, sedangkan orang yang kamu hadapi mengharapkan hasil saja sudah cukup. Berarti kamu menghadapi orang yang akan melakukan segala cara asal obesinya tercapai. Meskipun mungkin ide itu diambilnya dari laci orang. Tentu saja acara itu tidak akan sesuai dengan ide awal lantaran sudah didaku menjadi idenya. Dan ia akan berusaha mati-matian untuk mewujudkannya, yang telah dikatakannya kepada semua orang, yang telah disiarkan dan didaku di depan tempat terhormat. Dan setelah dengan segala cara ia lakukan mimpinya itu, meski tak mengindahkan mimpi-mimpi bersama sebagai dasar keberadaannya, dan pula ... meski gagal, ia tak akan pernah merasa dan mengakui kegagalan itu. Jelas, kegagalan itu adalah kegagalan bersama. Begitu banyak nama yang ada di pundak kegagalannya. Semua nama itu sudah tentu tak mau dianggap gagal. Sebab akan tercemarlah nama mereka. Dan kamu harus ingat, ini berarti mengolengkan periuk nasi mereka dan nasi mereka tumpah. Tak usah kamu bikin tesis lagi, begitu program pribadi meski mencuri dari laci orang, akan dipertahankan mati-matian kalau sudah menyangkut pekerjaan, mata pencaharian dan nama baik. Kamu sudah tawarkan beberapa langkah bersama kan, dan ternyata tak ada artinya kan. Bahkan sebaliknya namamu disorot sebagai penghasut kan? Itu karena memang tabiatmu untuk mencari segala seluk beluk guna ambisimu juga. Kamu ingin menulis semua itu untuk warisan bagi pembaca dan penerus manusia di tanah kelahiranmu. Supaya mereka tahu, kamu hidup dan berteman dengan begitu banyak orang yang berbeda pendapat denganmu, bahkan yang jauh-jauh datang hanya untuk sebuah misi dengan melupakanmu lantaran dapat mainan baru ... bahkan yang kemarin datang dan berkepentingan denganmu kemudian besoknya datang ke kubu lain yang kamu ungkap kondisinya ternyata memberi peluang keuntungan dengannya ... bahkan ke kawanmu sendiri yang didatanginya tanpa etika seperti yang kamu tahu cerita panjang masa lalunya ... bahkan orang yang benar dan telah membuatmu nyata kamu salah ... bahkan orang yang salah yang membuat kamu benar ... bahkan orang yang sama-sama salah dan sama-sama benar seperti malaikat atau iblis.
Nah, jadi kamu sudah tahu cara menghadapi sesama manusia kan? Bisa kamu berbeda pendapat dengannya, berkata apa saja di belakangnya, berbaik dan bermanis muka di depannya, berseteru dengan segala macam cara sesuai dengan garis perjuanganmu ... Hal yang sama dilakukan oleh mereka. Bahkan bersama kawan, kelompok bahkan gerombolannya. Bahkan mungkin orang di luar kalian dan kelompok-kelompok kalian ini yang seharusnya tidak tahu malah tahu dan menonton sebagai petunjukan dalam rumah kaca. Kamu tahu kan? Ikan yang dalam sungai saja malu-malu melihat orang berpancing di sisi sungai, meski melemparkan remah-remah roti. Apa kamu tidak malu dilihat begitu banyak mata meski kamu tak trahu hidung mereka? Kamu hanya menebalkan muka. Kamu ganti anyaman bambu dengan tembok beton. Kamu masih saja berkuat bahwa masa narasi besar masih saja ada dan patut dip[erjuangkan. Nyata-nyata dunia sudah berubah, yang ada dan hidup hanya narasi-narasi kecil. Maka tidak tahukan kamu bahwa masalah dengan kelompok keras kepala yang mengemban amanah penderitaan rakyat di dahinya bahkan batok kepalanya itu juga narasi-narasi kecil yang coba masuk dalam menyusun sejarah baru bagi lokalitasnya? Ingat, dalam percakapanmu beberapa kali, kamu batasi tiga kali, kamu sudah berani mengambil kesimpulan tentang adanya narasi kecil sebagai tendensi langkah seolah narasi besarnya. Kalau kamu menghadapinya tetap sebagai narasi besar, kamu akan tertipu. Sebagaimana banyak orang yang kamu merasa kenal dan dekat ternyata kamu ujung-ujungnya kamu merasa tertipu juga oleh karena tahu tentang mereka dalam ketelanjangannya, kan?


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun