Mohon tunggu...
Yonathan Rahardjo
Yonathan Rahardjo Mohon Tunggu... -

Novelis berbasis drh-pelukis-penulis-pembacapuisi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hanya Sorga yang Tak Mengenal Tamu...

21 Maret 2014   21:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Betapa tidak enaknya menjadi orang asing di rumah sendiri. Banyak orang datang, banyak orang berkarya dan berbagi -bersuara-, tapi diri sendiri hanya menjadi pendengar. Padahal ini tempat kelahiran diri sendiri, tanah di mana diri dibesarkan. Bukan salah mereka, mereka ada ketika diri tak di sini, pergi jauh melanglang buana, kembali ke sini mereka sudah berkuasa. Tanah yang ditinggalkan penghuninya, kembali ke sini bukankah itu berarti tanah asing. Layak mereka menjadi tuan. Dan diri pun menjadi tamu. Apalagi diri tak lagi sesuai haluan dengan yang mereka miliki. Apalagi tanah kelahiran ini ternyata hanya sub ordinat tuan yang lebih tinggi. Apakah mereka hanya cecunguk dan antek tuan lebih tinggi itu? Mungkin. Salah sendiri tak mau mengikuti kemauan tuan yang lebih tinggi itu. Pantas kau dibui. Pantas kau diasingkan. Asing. Selalu terasing. Hanya sorga yang tak mengenal tamu....

Tapi, benarkah begitu? Sorga tak mengenal tamu. Dan kita semata-mata menjadi anak-anak pemilik sorga itu? Ketika menurut kata sang pemilik, seolah-olah kita memiliki. Saat ya saja setiap apa katanya, seolah-olah kita pun sah berkata-kata. Semua, pembedanya hanya batas. Benarkah batas itu ada? Sedang semua tembok sudah diruntuhkan.... Batas kokoh antara barat dan timur tinggal menjadi puing dan batunya disimpan sebagai kenangan. Demarkasi antara kekuatan utara dan selatan seolah tak ada lagi meski masih ada namanya yang membikin keder setiap dada yang mau menantang. Jendela dan pintu dogma dan doktrin dibuka lebar-lebar, memungkinkan tangan yang semula hanya memuja ke atas menjadi terulur ke samping dan bawah. Dipeluknya kaki orang kusta, diciumnya orang AIDS tanpa rasa takut tertulari. Ribuan lagi laku kemanusiaan dibuktikan bukan dikotbahkan. Dan tembok itu benar-benar runtuh...

Begitu pun sorga dan rumah ini diduduki dan dikuasai mereka yang merasa punya mandat. Sayangnya memang, mandat itu ada bukti. Setidaknya sertifikat tanah. Hitam di atas putih. Dan kepemilikannya ada di tangan tuan yang lebih tinggi. Semua lantaran sertifikat itu sudah diserahkan secara suka rela saat pembangunannya dulu. Sedang yang lahir dan turut membangunnya tak pernah berpikiran sejauh itu, dulu. Semua semata-mata karena keyakinan yang sama saat itu. Bahwa mereka hanya anak-anak sorga yang satu. Tak pernah ada kecurigaan ada persimpangan jalan suatu saat. Tak pernah ada keinginan dan prasangka yang beda. Seolah sorga memang hanya satu. Dan tak perlu diperebutkan. Nyata..., nyatanya tetap jadi rebutan pada suatu masa. Namun mau merebut bagaimana? Diri sudah menjadi orang asing dan hanya penonton. Bukan. Bukan di sini sorga, kalau begitu...

Jadi apa maksudmu berkunjung ke tempat-tempat jauh dan kau menjadi orang asing di situ? Jadi apa maksudmu hijrah ke negeri orang lalu kau menetap di situ dan sebaliknya penduduk asli kau asingkan, seolah kamu pemilik negeri itu dan mereka asing? Begitu pun kamu di negari jauh itu bertemu dengan sesama pendatang lalu kalian bersaing dan menyisihkan penduduk asli. Penduduk asli? Benarkan mereka penduduk asli? Bukankah ada hijrah dari satu tempat ke tempat lain sejak jaman purba? Bahkan nenek moyangmu juga datang dari benua lain, menempuh perjalanan begitu jauh sehingga terdampar di tepi sungaimu sekarang. Sedang kamu sendiri memang dilahirkan di tanah ini, namun tak tahu asal-usulmu beberapa generasi sebelummu. Kamu masih mempersoalkan sorga?... Kamu masih berobsesi mendatangkan sorga di tanah yang kamu sorgakan?...

Aku khawatir kamu hanya mengalami krisis identitas. Kamu sudah tercabut dari habitatmu. Tidak di sini tidak di sana. Malah-malah yang lebih parah kamu tercabut kepribadianmu. Kamu bingung tak tahu harus berbuat apa. Semua ini tak lepas dari apa yang kamu lakukan sebelum-sebelum ini. Kamu tidak setia dalam prosesmu berdasar batas-batas yang ada. Kamu mau merobohkan tembok-tembok itu padahal tembok-tembok ada adalah sebuah keniscayaan. Kamu mau apa sih? Kamu robohkan tembok ideologi, kepercayaan, keyakinan, sosiologi atau tembok apa? Jangan-jangan kamu tak tahu apa yang kamu bicarakan. Kamu hanya berbicara berdasar simpang siurnya informasi dan memori yang ada dalam benak dan keinginan hati yang tak kesampaian. Kamu sudah mengalami alienasi di rumahmu sendiri. Terasing..., makin terasinglah kamu. Kalau kamu mencoba bicara dalam keterasinganmu itu, sangat mungkin orang akan menganggap kamu memang tak layak masuk sorga. Sorga di bumi saja kami tak sanggup mencipta dengan ucap syukur, padahal itu semua berkat yang diberikanNya.

Kalau kamu masih menganggap dirimu tamu di tempat kamu berada saat ini, berarti kamu memang tak memiliki sorga. Karena sorga tak mengenal tamu.... Namun kalau kamu memaksakan dirimu bukan tamu di mana dirimu berada padahal orang menganggapmu tamu, kamu juga tak punya sorga, karena sorga juga tak pernah memaksakan seseorang tamu atau bukan. Sorga ya sorga, kalau kamu masih bingung tentangnya mungkin sorgamu ya di pusaran kebingunganmu itu....

Jadi ingatlah ketika kamu dituankan di tanah asing oleh karena undangannya kepadamu. Tidakkah kamu merasakan isi hati orang yang berkompeten di tanah itu? Kok justru kamu yang diundang bukan mereka? Lalu berapa kalikah hal ini terjadi pada dirimu? Seberapa banyak peristiwa semacam ini terjadi, bukankah sebanyak itu pula kamu menyakiti hati orang-orang asli yang tuan rumah dan layak menempati posisimu di situ? Kamu masih berbicara soal pendatang dan tuan rumah. Berarti kamu berbicara soal pecundang dan yang punya berkah. Semua hubungan itu terjadi karena kedekatan, atau hubungan atau komunikasi. Kamu tak layak mempersoalkan tentang sorga atau tidak di situ. Kejauhan. Cukuplah bilang bahwa masing-masing orang punya sorga sendiri. Ketika kalian sanggup menjalankan itu dengan rasa syukur, sesungguhnya di situlah sorga....

Kalau ternyata paham pluralistik semacam itu memojokkan diri menjadi tak berani beriman dan berkeyakinan? Terlalu jauh pertanyaanmu, sebab kamu dengan berplural itu toh tidak menggadaikan keyakinanmu. Perluaslah dadamu, sorga tak hanya di tempat kelahiranmu, agamamu, keyakinanmu. Sorga tak hanya sempit seperti itu. Sorga itu sangat luas. Perluaslah sorga-sorgamu, meski kamu pertahankan sorga sempitmu. Jangan sampai mempertahankan sorga sempit kamu kehilangan sorga luas. Percayalah kalau kamu perluas sorgamu, sorga sempitmu tak bakal hilang. Malah sangat mungkin sorga sempitmu menjadi luas.... Dan ketahuilah, hal semacam ini tak hanya berlaku untukmu sendiri, tapi juga orang lain yang juga berhak atas sorga. Sebab kamu dan mereka sesungguhnya tiadalah beda. Sama. Rata. Sama. Bergelombang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun