[caption id="attachment_167593" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Rasanya saat ini di belahan dunia manapun tidak ada orang yang tidak mengenal twitter, kecuali mereka yang memang hidup di pedalaman dan jauh dari teknologi. Twitter menjadi social media yang sangat digemari para penggunanya dan bahkan merupakan satu-satunya social media yang berhasil "membuntuti" keberhasilan facebook. Social media yang juga dikenal dengan sebutan microblogging ini memiliki tampilan yang user friendly dan aplikasi twitter client di berbagai ponsel yang beraneka ragam. Banyaknya situs berita serta akun twitter milik artis international, membuat setiap penggunanya merasa bahwa twitter menjadi situs social media paling utama untuk dikunjungi karena banyaknya informasi yang didapat dengan hanya mengakses social media tersebut. Dengan konsep "kicauan" miliknya, twitter menyederhanakan apa yang disebut sebagai status update di Facebook. Tak perlu panjang lebar, tak perlu merangkai kata-kata indah, cukup tuangkan apa yang sedang ada di dalam pikiran anda ke dalam "kicauan" yang tak lebih dari 140 karakter. Hal ini menyebabkan twitter bukan hanya sebagai tempat ajang pamer status, namun juga menjadi wadah bagi penyebaran informasi yang singkat, padat dan aktual.Tak sedikit juga orang yang memanfaatkan twitter sebagai wadah untuk berdiskusi dan berbagi melalui "kicauan" mereka atau melalui kul-twit (kuliah twitter) yang berisi berbagai macam topik. Mulai dari hiburan, teknologi sampai topik yang berat seperti isu politik semuanya dapat didiskusikan dan dibagi bersama secara bebas oleh para pengguna twitter. Namun, kebebasan dalam "berkicau" di twitter sudah mulai dibatasi untuk saat ini. Sensor atas konten yang ditampilkan di twitter membuat kebebasan pengguna sedikit mengalami gangguan. Memang, tweet yang dihapus oleh twitter untuk keperluan sensor tidak serta merta menghilang begitu saja. Tweet hanya menghilang di negara yang memberlakukan sensor atas suatu konten yang bertentangan dengan hukum di negara tersebut, namun tweet tersebut masih bisa dibaca dan diakses di negara lain yang tidak memiliki masalah hukum yang sama dengan negara sebelumnya. Selain itu, si penulis akan diinformasikan oleh pihak twitter bila memang tulisannya dihapus karena terkena sensor. Hal ini menyebabkan para pengguna twitter harus berhati-hati dalam menuliskan setiap tweet nya, agar tidak terkena sensor oleh twitter terkait masalah hukum di negara si pengguna tersebut. Di Indonesia sendiri, sensor yang saat ini paling mungkin dilakukan jika memang Indonesia berniat memberlakukan sensor adalah sensor masalah pornografi. Sementara sensor yang mengandung unsur politik rasanya belum bisa diterapkan di Indonesia karena sudah pasti akan mendapat kecaman serius dari masyarakat. Namun di negara lain, sensor konten yang mengandung isu politik menjadi tujuan utama. Mungkin banyak orang yang menyesal atas keputusan yang diberlakukan twitter karena kebebasan konten kini dibatasi, namun justru disinilah twitter 'berhasil' sebagai social media. Twitter berhasil menjadi media yang independen dimana kebebasan berekspresi dan berpendapat para penggunanya menjadikan banyak negara "gerah" dan menginginkan twitter memberlakukan sensor untuk beberapa konten yang bertentangan dengan hukum di suatu negara. Kebebasan berbagi dan berpendapat yang tercipta dengan baik di social media seperti twitter, menjadikan banyak pihak yang "dirugikan" seperti orang-orang pemerintahan dan orang-orang yang berkecimpun di dunia politik merasa bahwa twitter menjadi ancaman yang serius di bidang social media. Menjadi wadah yang harus "dibatasi" agar kebebasannya tidak kebablasan bagi banyak orang. Padahal kebebasan berbagi dan berpendapat merupakan esensi utama dari sebuah social media. Memang, selain keinginan dan kebijakan dari berbagai negara seputar masalah sensor, pada beberapa sumber berita yang saya baca di internet, alasan twitter memberlakukan sensor adalah demi kepentingan bisnis semata. Dimana pada negara-negara yang terkenal ketat dalam masalah sensor konten seperti China, twitter kesulitan dalam mengembangkan sayapnya di negara tersebut. Oleh karena itu, sensor menjadi satu-satunya alat penghubung twitter dan China agar twitter dapat digunakan oleh seluruh warga negara China dan pemerintah China tetap merasa aman karena tidak akan ada konten dari warganya yang bertentangan dengan hukum di negara tersebut. Terlepas dari semua alasan yang ada, saya berani menyimpulkan bahwa sensor yang dilakukan oleh twitter adalah bukti keberhasilan mereka sebagai social media. Berhasil karena kebebasan berbagi dan berpendapat dapat mereka terapkan dan berhasil membuat beberapa negara "ketar-ketir" karena penyebaran konten yang cepat dan merata perihal hukum, politik atau HAM di suatu negara yang dapat tersebar bahkan hingga ke seluruh dunia dengan hanya melalui twitter. Berhasil juga dalam arti yang sebenarnya, karena kini mereka dapat mengembangkan bisnis mereka ke negara-negara yang sebelumnya sulit untuk dijamah karena ketatnya perihal konten internet seperti China. Hal ini menjadikan twitter menjadi situs yang dewasa dalam dunia bisnis, karena mereka bersedia menanggalkan ego sebagai social media yang independen dan mengalah demi masalah sensor bagi beberapa negara tertentu agar bisnis mereka dapat berkembang lebih luas lagi. Dan hal pendewasaan ini juga mungkin menjadi sesuatu hal yang diinginkan oleh twitter bagi penggunanya. Dimana twitter menginginkan agar para penggunanya lebih bijak dalam berdiskusi dan berbagi di twitter dan tidak menyalahi aturan serta tidak menghilangkan kesopanan perihal konten yang ada. Oleh sebab itu, mari kita ambil nilai positif dari keputusan sensor twitter dan 'keberhasilan' ala twitter ini. Salam kompasiana :) -Yonathan Christanto- Untuk membaca postingan Headline saya lainnya. Enjoy :) http://www.kompasiana.com/posts/tags/yonathanhl/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H