Pun begitu pada karakter Jane Foster yang dalam perjalanannya menjadi The Mighty Thor begitu cepat diceritakan. Memang tidak ada masalah karena deretan flashback dan sebab akibatnya berhasil disuguhkan dengan porsi yang compact.
Hanya saja seharusnya hal ini bisa ditambahkan lagi mengingat cerita hubungan Thor-Jane memang mengambil bagian penting dalam keseluruhan cerita.Â
Ya setidaknya menurut saya, jika ditingkatkan porsi komedi romantisnya bisa menjadi suguhan yang lebih manis dibandingkan unsur dagelan yang diperbanyak dan menjadikan film ini akan diingat sebagai komedi murni.
Taika Waititi memang berhasil mengubah tema Thor yang gelap menjadi film action-comedy yang menyenangkan sekaligus menghibur sejak dirinya membesut Thor: Ragnarok. Tentu saja hasil penyutradaranya menimbulkan pro dan kontra di antara para fans dan moviegoer.
Saya pribadi tidak terlalu menyukai Ragnarok karena terlalu banyak unsur komedi yang harus diakui lucu namun sejatinya tidak terlalu penting.Â
Namun di Love and Thunder, saya lebih bisa menerimanya karena porsi komedinya berhasil diturunkan dan sekalipun muncul masih konstektual dan masih ada dalam koridor penceritaan. Tidak keluar jalur.
Selain itu, unsur romansa antara Thor dan Jane serta cerita pilu Gorr dan anaknya membuat Love and Thunder juga terasa memiliki hati. Sehingga film ini terasa lebih balance dan kaya secara konten walaupun eksekusi dan hasil akhirnya tak terlalu terasa segar apalagi spesial. Ya, tipikal popcorn movie khas MCU.
Hal kecil lain yang sejatinya berdampak besar  dari film ini adalah bagaimana untuk fase 4 ini nampaknya Marvel mulai mengaplikasikan kostum dan tampilan karakter yang setia dengan komiknya.Â
Setelah sebelum-sebelumnya selalu mengaplikasikan kostum yang terasa lebih modern, gelap dan kaya unsur militer. Dan Thor: Love and Thunder juga menunjukkan hal tersebut.