Dan ketika gelombang omicron mulai menyerang, saya tidak pernah menyangka bisa tertular lagi. Karena ketika saya berpikir bahwasanya disiplin prokes sudah dilakukan, pengurangan mobilitas ke tempat umum yang tak terlalu penting juga sudah dilakukan dan status vaksinasi 1 dan 2 sudah lengkap, maka seharusnya penularan ini bisa diminimalisir.
Namun ternyata saya salah. Saya tetap tertular.
Jujur saja kali ini saya agak kesulitan tracing mengenai dari mana asal penularan ini. Meskipun memang kemungkinan terbesar penularannya terjadi di area kantor karena kebetulan tidak ada kegiatan lain di tempat umum pada minggu tersebut kecuali di kantor. Namun tepatnya tertular di mana, saya tidak tahu.
Yang pertama dikarenakan departemen tempat saya bekerja sudah menerapkan protokol kerja jarak jauh. Sehingga rekan kerja dari departemen lain yang berbeda lantai dan sedang jadwal wfh pun tetap bisa berkomunikasi via telepon, email, ataupun aplikasi chat. Sehingga tentu saja kemungkinan kontak erat di kantor bisa diminimalisir.
Yang kedua, saya pun adalah tipe pegawai yang tak banyak bersosialisasi selama pandemi. Karena selain perbedaan jadwal wfh-wfo dengan rekan yang sebelum pandemi biasa nongkrong bareng, saya pun sebisa mungkin harus mengurangi interaksi dengan orang lain dan segera pulang ke rumah.
Sehingga kemungkinan terbesar adalah saya terpapar di area atau kondisi lainnya di kantor yang sepertinya luput dari ingatan saya.
Singkat cerita gejala awal kemudian saya rasakan di tanggal 26 Januari 2022 berupa batuk, pilek, dan demam. Di mana sehari setelahnya gejala bertambah yaitu radang di tenggorokan dan rasa ngilu di sekujur tubuh.
Saya pun lantas berinisiatif pergi ke klinik untuk tes antigen dan meminta obat untuk mengurangi gejalanya kalau-kalau memang terbukti positif. Dan benar saja, hasil antigen pun menunjukkan tanda-tanda positif terinfeksi Covid-19 dan harus isoman selama 10 hari sesuai rekomendasi dokter.
Terinfeksi lagi, di awal tahun lagi.