Hanya saja, dalam kasus OTT platform, ruang tersebut tidaklah seluas stasiun tv reguler dan tv cable karena banyaknya "persyaratan" yang harus dilalui termasuk membayar biaya berlangganan yang tidak sedikit, sebelum bisa menikmati konten yang disediakan.
Selayaknya sensor pada lagu-lagu barat yang sangat mengganggu kala diputar di radio, sensor pada film pun sudah jelas akan mengganggu esensi seni pada film itu sendiri. Karena biar bagaimanapun, menikmati film secara utuh adalah cara terbaik dari menonton sebuah film.
Jikapun ada adegan sex, ketelanjangan, simbolisme tertentu, ataupun adegan penuh kekerasan di dalamnya, sebaiknya memang harus dipahami dulu konteks daripada film tersebut. Karena tak mungkin hal-hal tersebut dimunculkan dalam film tanpa adanya alasan yang jelas.
Bisa jadi adegan sex, jika tidak terlalu berlebihan, memang dibutuhkan untuk menunjukkan relationship yang lebih dalam antar tokoh utamanya. Yang mana hal tersebut mungkin saja tak cukup ditampilkan oleh sekadar adegan ciuman misalnya.
Sedikit unsur ketelanjangan dan unsur kekerasan terkadang memang dibutuhkan untuk menunjukkan kondisi real terhadap suatu kejadian yang ingin diceritakan.Â
Misalnya penampilan para lifeguard di film Baywatch ataupun para penari striptease di film Hustlers. Atau adegan kasar dan brutal untuk menunjukkan kengerian sebuah tokoh fiksi yang keji semisal John Wick atau Rama The Raid misalnya.
Semua sah-sah saja selagi ada dalam koridor penceritaan, latar, dan pesan yang ingin disampaikan dari film tersebut. Karena akan menjadi tidak relevan jika hal tersebut tidak diwujudkan ke dalam bagian penceritaan.
Apalagi jika kasusnya seperti film Gangs of New York yang blurnya hanya karena pakaian wanita yang sejatinya memang seperti itu adanya di tahun latar penceritaan film tersebut.Â
Jika seperti itu, maka kemben atau berbagai pakaian adat masyarakat Indonesia lainnya yang sedikit terbuka juga berpotensi untuk di blur kah?
Lantas, harus bagaimana?