Tak salah jika pada ajang Golden Globes 2020 yang lalu, film 1917 membawa pulang 3 penghargaan bergengsi yaitu Best Original Score yang ditujukan untuk Thomas Newman (Skyfall, The Highwaymen), Best Director untuk Sam Mendes (Skyfall, Revolutionary Road) dan tentu saja Best Motion Picture.
Itu belum termasuk ratusan nominasi dan puluhan kemenangan lainnya yang diraihnya pada ajang bergengsi lainnya semisal BAFTA Awards, Satellite Awards, dan tentu saja 10 nominasi termasuk Best Picture untuk gelaran Oscar 2020 ini.
Tentu saja raihan tersebut juga membuat 1917 menjadi kandidat yang cukup kuat untuk memenangi penghargaan paling tinggi pada Oscar tahun ini.
1917 pada dasarnya membawa semua elemen film perang yang kita sukai ke dalam satu visualisasi pertempuran yang indah, realistis, namun juga jujur dalam mengabadikan kekejaman dan tragedi kemanusiaan pada saat perang dunia pertama berlangsung.
1917 tidak bertele-tele dalam menyampaikan kisahnya. Pun tidak memiliki sub-plot yang membingungkan demi menjadikannya sebuah film yang 'berkelas'. 1917 justru begitu kaya dalam kesederhanaan premisnya.
Sebuah tugas yang terlihat sederhana, sampai mereka tahu bahwa surat tersebut ternyata berisi informasi strategi yang harus diantar ke garis terdepan pertempuran yang dalam perjalanannya melewati daerah yang dikuasai Jerman.
Tahu tugas ini penuh bahaya tapi penting untuk menyelamatkan rekan-rekan mereka di garis depan, Blake dan Schofield pun harus berani melawan ketakutan sambil berpacu dengan waktu demi mencapai tujuan akhir mereka. Sembari mereka juga melihat kekejaman dan kengerian perang yang mungkin belum pernah mereka alami sebelumnya.
Pasalnya, 1917 menyajikan sebuah kisah perjalanan dan petualangan yang benar-benar seru, dengan intensitas aksi dan ketegangan yang membuat kita tak pernah benar-benar bisa bernapas dengan lega hingga film berakhir.
Setiap detail shoot-nya benar-benar patut diacungi jempol, karena mampu menangkap momen WW1 yang mengerikan tersebut dengan sangat sempurna.
Namun dalam sebuah film perang, gaya ini adalah yang pertama diadopsi. Sehingga menjadikannya sebuah sajian visual yang unik namun juga indah, dengan tingkat kesulitan yang pastinya luar biasa.
Kerjasama sebelumnya dengan sutradara Sam Mendes pada film Skyfall dan Revolutionary Road juga seakan menjadi bonus tambahan, karena chemistry yang sudah terbentuk tersebut semakin memudahkan dirinya untuk mentranslasikan visualisasi yang diinginkan Mendes dalam balutan one take brilian dari awal sampai akhir film.
Hal tersebut tentu saja demi menghidupkan cerita turun temurun berdasarkan kisah nyata dari kakek Sam Mendes sendiri untuk menjadi sebuah cerita universal yang memberikan gambaran lebih luas tentang situasi WW1 kala itu. Paling penting, memberikan sudut pandang baru tentang kisah WW1 yang belum pernah kita ketahui sebelumnya.
Hampir semua tangkapan gambarnya pun terasa magis dan berkelas. Khususnya pada adegan malam hari, di tengah-tengah puing bangunan yang dihujani desingan peluru dan tembakan suar yang sesekali menerangi langit malam.
Adegan tersebut menjadi sorotan khusus dari penulis karena mampu memberikan atmosfer mendebarkan sekaligus indah dan artistik di sisi lainnya.
Belum lagi adegan kejar-kejaran menghindari kepungan tentara Jerman di kegelapan yang juga membuat jantung kita ikut berdegup kencang. Sebuah sensasi menikmati film perang yang benar-benar berbeda tentunya.
Namun di tengah kengerian suasana perang yang dibangun secara bertahap dan reasonable oleh Sam Mendes, dirinya masih memberikan ruang yang cukup bagi jokes brilian yang dilemparkan di sepanjang film.
Kemunculannya tak banyak namun efektif menghadirkan tawa, sehingga sukses menjadi semacam 'obat penenang' bagi penonton sebelum terpaku kembali ke layar bioskop.
Sementara dari sisi scoring, Thomas Newman juga memang sangat layak mendapatkan Golden Globes 2020 dan juga masuk nominasi Oscar 2020. Pasalnya, setiap komposisi musiknya begitu detail bahkan terasa menyatu dengan tiap adegan yang ada.
Detail musiknya membuat setiap adegan perang terasa makin seru dan hidup karena mampu menambah suasana tegang, seru, dan haru sekaligus memberikan semangat patriotik yang kokoh.
Justru bintang muda dalam diri Dean-Charles Chapman dan George MacKay lah yang benar-benar mencuri perhatian. Chemistry mereka sebagai sepasang sahabat yang saling melengkapi dan menemani hingga situasi di lapangan memaksa mereka untuk berpisah, ditampilkan dalam sebuah interaksi yang terasa hangat, realistis, juga seakan dekat dengan kita.
Mereka berdua seakan mampu memberikan penampilan yang natural tentang bagaimana shock dan khawatirnya dua orang berpangkat rendah, kala ditugaskan ke tempat yang bersinggungan langsung dengan garis musuh.Â
1917 seakan menjadi film perang dengan visualisasi seindah Dunkirk, sehangat Saving Private Ryan, serealistis Jarhead, hingga se-'horor' Hacksaw Ridge. Namun hal tersebut tak serta-merta menjadikan 1917 terasa familiar dengan film-film tersebut.
1917 tetaplah 1917 yang segar dan visioner, sekaligus membawa sebuah pencapaian baru dalam sebuah film perang yang akan terus diingat dan menjadi standar baru hingga bertahun-tahun kemudian.
1917 seakan mampu menyuguhkan perjalanan sepucuk surat melewati rentetan tragedi kemanusiaan yang terasa real, dalam visualisasi perang yang mampu menggetarkan hati setiap orang yang menyaksikannya.
Pengalaman sinematik yang dibawanya, jelas semakin menguatkan alasan bahwa film ini sebaiknya dan memang seharusnya disaksikan pada layar selebar mungkin dan dengan sound sebaik mungkin.
Untuk skornya, saya rasa tidak ada keraguan untuk memberikannya nilai sempurna. 10/10.
Selamat menyaksikan. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H