Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"1917", Perjalanan Sepucuk Surat dalam Visualisasi Perang yang Getarkan Hati

18 Januari 2020   23:09 Diperbarui: 23 Januari 2020   21:17 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak salah jika pada ajang Golden Globes 2020 yang lalu, film 1917 membawa pulang 3 penghargaan bergengsi yaitu Best Original Score yang ditujukan untuk Thomas Newman (Skyfall, The Highwaymen), Best Director untuk Sam Mendes (Skyfall, Revolutionary Road) dan tentu saja Best Motion Picture.

Itu belum termasuk ratusan nominasi dan puluhan kemenangan lainnya yang diraihnya pada ajang bergengsi lainnya semisal BAFTA Awards, Satellite Awards, dan tentu saja 10 nominasi termasuk Best Picture untuk gelaran Oscar 2020 ini.

Tentu saja raihan tersebut juga membuat 1917 menjadi kandidat yang cukup kuat untuk memenangi penghargaan paling tinggi pada Oscar tahun ini.


1917 pada dasarnya membawa semua elemen film perang yang kita sukai ke dalam satu visualisasi pertempuran yang indah, realistis, namun juga jujur dalam mengabadikan kekejaman dan tragedi kemanusiaan pada saat perang dunia pertama berlangsung.

1917 tidak bertele-tele dalam menyampaikan kisahnya. Pun tidak memiliki sub-plot yang membingungkan demi menjadikannya sebuah film yang 'berkelas'. 1917 justru begitu kaya dalam kesederhanaan premisnya.

Colin Firth sebagai Jenderal Erinmore | Historyextra.com
Colin Firth sebagai Jenderal Erinmore | Historyextra.com
1917 mengawali cerita dengan perkenalan kita kepada dua orang sahabat yaitu kopral Blake(Dean-Charles Chapman) dan kopral Schofield(George MacKay) dari pasukan Inggris, yang mendapatkan tugas dari jenderal Erinmore(Colin Firth) yaitu sekadar mengantarkan sepucuk surat. 

Sebuah tugas yang terlihat sederhana, sampai mereka tahu bahwa surat tersebut ternyata berisi informasi strategi yang harus diantar ke garis terdepan pertempuran yang dalam perjalanannya melewati daerah yang dikuasai Jerman.

Tahu tugas ini penuh bahaya tapi penting untuk menyelamatkan rekan-rekan mereka di garis depan, Blake dan Schofield pun harus berani melawan ketakutan sambil berpacu dengan waktu demi mencapai tujuan akhir mereka. Sembari mereka juga melihat kekejaman dan kengerian perang yang mungkin belum pernah mereka alami sebelumnya.

George MacKay yang Bersinar | torontonow.com
George MacKay yang Bersinar | torontonow.com
Dengan premis sesederhana itu, mungkin beberapa dari kita akan mengira bahwa film ini akan berakhir menjemukan atau minimal tidak akan mencapai klimaksnya. Jika ada yang pernah berpikir demikian, maka sebaiknya harus cepat-cepat ditarik pemikiran yang seperti itu.

Pasalnya, 1917 menyajikan sebuah kisah perjalanan dan petualangan yang benar-benar seru, dengan intensitas aksi dan ketegangan yang membuat kita tak pernah benar-benar bisa bernapas dengan lega hingga film berakhir.

Setiap detail shoot-nya benar-benar patut diacungi jempol, karena mampu menangkap momen WW1 yang mengerikan tersebut dengan sangat sempurna.

Indiewire.com
Indiewire.com
Yang membuat menarik tentu saja gaya one take atau one cut yang diadopsi oleh film ini. Sebuah gaya pengambilan gambar yang cukup sulit dan tricky dimana sebelumnya sudah pernah kita saksikan pada film Rope-nya Alfred Hitchcock, Birdman, bahkan film Jepang 'nyeleneh' namun sangat memorable yaitu One Cut of The Dead.

Namun dalam sebuah film perang, gaya ini adalah yang pertama diadopsi. Sehingga menjadikannya sebuah sajian visual yang unik namun juga indah, dengan tingkat kesulitan yang pastinya luar biasa.

hindustantimes.com
hindustantimes.com
Pujian tentu patut disematkan kepada sinematografer Roger Deakins, yang sebelumnya pernah memenangkan Oscar untuk pencapaian sinematografinya dalam film Blade Runner 2049.

Kerjasama sebelumnya dengan sutradara Sam Mendes pada film Skyfall dan Revolutionary Road juga seakan menjadi bonus tambahan, karena chemistry yang sudah terbentuk tersebut semakin memudahkan dirinya untuk mentranslasikan visualisasi yang diinginkan Mendes dalam balutan one take brilian dari awal sampai akhir film.

Hal tersebut tentu saja demi menghidupkan cerita turun temurun berdasarkan kisah nyata dari kakek Sam Mendes sendiri untuk menjadi sebuah cerita universal yang memberikan gambaran lebih luas tentang situasi WW1 kala itu. Paling penting, memberikan sudut pandang baru tentang kisah WW1 yang belum pernah kita ketahui sebelumnya.

nationalreview.com
nationalreview.com
Kamera yang terus mengikuti sang tokoh utama membuat film ini juga terasa personal bahkan membuat kita seakan menjadi bagian dari perjalanan mendebarkan yang dialami oleh sang tokoh utama tersebut. Dengan di satu sisi, shooting style tersebut juga memberikan kita atmosfer yang sama layaknya bermain video gim perang semisal Medal of Honor, Call of Duty ataupun Sniper Elite.

Hampir semua tangkapan gambarnya pun terasa magis dan berkelas. Khususnya pada adegan malam hari, di tengah-tengah puing bangunan yang dihujani desingan peluru dan tembakan suar yang sesekali menerangi langit malam.

Adegan tersebut menjadi sorotan khusus dari penulis karena mampu memberikan atmosfer mendebarkan sekaligus indah dan artistik di sisi lainnya.

Belum lagi adegan kejar-kejaran menghindari kepungan tentara Jerman di kegelapan yang juga membuat jantung kita ikut berdegup kencang. Sebuah sensasi menikmati film perang yang benar-benar berbeda tentunya.

Sam Mendes | nytimes.com
Sam Mendes | nytimes.com
Oh iya, bukan bermaksud spoiler, namun bagaimana Sam Mendes memilih untuk mengawali dan mengakhiri film ini dalam posisi shoot dan latar yang terlihat sama juga menjadi poin positif lainnya. Seakan kita diajak berputar hingga kembali ke 'tempat asal' setelah 'ikut' diguncang, diledakkan, ditembak, dan diserang secara diam-diam di sepanjang perjalanan sang tokoh utama.

Namun di tengah kengerian suasana perang yang dibangun secara bertahap dan reasonable oleh Sam Mendes, dirinya masih memberikan ruang yang cukup bagi jokes brilian yang dilemparkan di sepanjang film.

Kemunculannya tak banyak namun efektif menghadirkan tawa, sehingga sukses menjadi semacam 'obat penenang' bagi penonton sebelum terpaku kembali ke layar bioskop.

Digitalspy.com
Digitalspy.com
Editing film ini pun terasa halus. Biarpun mengadopsi style one take, tapi pada beberapa bagian yang bisa kita anggap layaknya 'blindspot', kita bisa menebak bahwa bagian itu adalah transisinya. Namun halusnya editing yang dilakukan membuat hal tersebut tak terasa sama sekali dan membuat one take film ini tak tercederai sama sekali.

Sementara dari sisi scoring, Thomas Newman juga memang sangat layak mendapatkan Golden Globes 2020 dan juga masuk nominasi Oscar 2020. Pasalnya, setiap komposisi musiknya begitu detail bahkan terasa menyatu dengan tiap adegan yang ada.

Detail musiknya membuat setiap adegan perang terasa makin seru dan hidup karena mampu menambah suasana tegang, seru, dan haru sekaligus memberikan semangat patriotik yang kokoh.

Benedict Cumberbatch | cnet.com
Benedict Cumberbatch | cnet.com
Dari sisi akting, bintang-bintang besar semisal Colin Firth dan Benedict Cumberbatch justru tidak memberikan penampilan yang mengesankan. Namun penampilan mereka dalam runtime yang singkat itu pun sudah cukup memberikan sesuatu yang spesial dan bernilai dalam film ini.

Justru bintang muda dalam diri Dean-Charles Chapman dan George MacKay lah yang benar-benar mencuri perhatian. Chemistry mereka sebagai sepasang sahabat yang saling melengkapi dan menemani hingga situasi di lapangan memaksa mereka untuk berpisah, ditampilkan dalam sebuah interaksi yang terasa hangat, realistis, juga seakan dekat dengan kita.

Mereka berdua seakan mampu memberikan penampilan yang natural tentang bagaimana shock dan khawatirnya dua orang berpangkat rendah, kala ditugaskan ke tempat yang bersinggungan langsung dengan garis musuh. 

Dailymail.co.uk
Dailymail.co.uk
Semua hal tersebut tentu masih menjadi sedikit contoh bagaimana film ini berjalan begitu sempurna hingga penulis sulit menemukan kecacatannya. Sam Mendes benar-benar mampu membuat sebuah cerita sederhana menjadi sebuah film berdurasi 2 jam yang segala sisi teknisnya mampu membuat kita berdecak kagum.

1917 seakan menjadi film perang dengan visualisasi seindah Dunkirk, sehangat Saving Private Ryan, serealistis Jarhead, hingga se-'horor' Hacksaw Ridge. Namun hal tersebut tak serta-merta menjadikan 1917 terasa familiar dengan film-film tersebut.

1917 tetaplah 1917 yang segar dan visioner, sekaligus membawa sebuah pencapaian baru dalam sebuah film perang yang akan terus diingat dan menjadi standar baru hingga bertahun-tahun kemudian.

Ladbible.com
Ladbible.com
Karena pada akhirnya 1917 tetap mampu menyampaikan pesannya dengan baik perihal perang yang tak membawa keuntungan apapun bagi siapapun. Pesan yang tersampaikan dengan jelas bahwa dari dulu hingga sekarang, perang tak lebih dari sebuah panggung untuk orang-orang yang haus kekuasaan dan pembuktian diri, hingga terkadang melupakan sisi kemanusiaannya.

1917 seakan mampu menyuguhkan perjalanan sepucuk surat melewati rentetan tragedi kemanusiaan yang terasa real, dalam visualisasi perang yang mampu menggetarkan hati setiap orang yang menyaksikannya.

Pengalaman sinematik yang dibawanya, jelas semakin menguatkan alasan bahwa film ini sebaiknya dan memang seharusnya disaksikan pada layar selebar mungkin dan dengan sound sebaik mungkin.

Special screening yang terisi penuh dan dihujani tepukan meriah di akhir film | dokpri.
Special screening yang terisi penuh dan dihujani tepukan meriah di akhir film | dokpri.
1917 tayang reguler tanggal 22 Januari 2020 dan midnight shownya di hari ini, 18 Januari 2020 di beberapa jaringan bioskop yaitu CGV, Cinepolis dan Flix Cinema. Tonton segera dan rasakan pengalaman sinematik yang membuatmu ikut masuk ke dalam suasana perang dunia pertama.

Untuk skornya, saya rasa tidak ada keraguan untuk memberikannya nilai sempurna. 10/10.

Selamat menyaksikan. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun