Ah, mungkin sudah sangat telat jika penulis baru membahas film ini sekarang. Sangat telat karena penulis pun baru sempat menyaksikan film ini kemarin sore, di bioskop yang tak jauh dari kantor. Untungnya, masih ada bioskop yang menayangkan film ini sehingga penulis tidak ketinggalan tontonan yang memang sudah dinantikan cukup lama ini.
Tentu penulis tidak perlu menuliskan lagi sinopsisnya karena tentunya sudah banyak bertebaran di berbagai blog film dan media sosial. Lagipula, siapa sih yang tidak tahu betapa legendarisnya seorang Susi Susanti? Heuheu. Pun ulasan film ini sejatinya juga sudah dibahas oleh beberapa Kompasianer beberapa waktu yang lalu.
So, melalui tulisan ini penulis akan mencoba membahas film ini dari beberapa sisi yang berbeda, yang semoga bisa memberikan pandangan lain bagi para pembaca yang masih penasaran dengan film ini namun belum sempat ke bioskop.
Jadi tak usah berlama-lama, yuk kita masuk ke pembahasannya.
Sajian Biopik dengan Visual yang Menggugah
biopik nasional lain yang sudah lebih dulu muncul.
Satu kata yang terucap pertama kali kala penulis melihat visualisasi film ini adalah 'mengagumkan'. Ya, betapa aspek visual benar-benar menjadi strong point film ini yang membedakannya dengan
Bukan berarti biopik lainnya lantas memiliki visual buruk. Hanya saja, Susi Susanti mampu melampaui aspek visual tersebut hingga membuatnya nampak artistik.
Tata artistik dari art director Frans Paat lah yang sekali lagi menunjukkan hasil kerjanya yang menawan di film ini setelah sebelumnya juga menunjukkan prestasi yang gemilang lewat film Perempuan Tanah Jahanam.
Pemilihan tone yang lebih ke warna coklat sejatinya juga merupakan pilihan tepat. Karena tak hanya mampu membuat efek dramatis film ini mencapai klimaksnya, namun juga mampu menghidupkan warna-warni latar dan pakaian yang memang disesuaikan dengan era 80 dan 90'an.
Tak hanya itu, untuk menunjukkan momen-momen pergolakan batin seorang Susi Susanti pun mampu diterjemahkan ke dalam detail visual yang mengagumkan. Seperti kala ia dirundung rasa takut saat berada di final Sudirman Cup, di mana suasana stadion yang begitu riuh tiba-tiba menjadi blackout dan meninggalkan Susi Susanti seorang di sana, menjadi salah satu adegan dramatis yang begitu menggugah.
Apalagi kemudian disempurnakan dengan rekonstruksi apik pertandingan fenomenal Susi Susanti kala berlaga di final Sudirman Cup 1989 melawan pebulutangkis Korea Selatan Lee Young-suk dan juga final Olimpiade Barcelona 1992 melawan Bang Soo-hyun.