Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama FEATURED

Rasisme dan Ketidakadilan yang Menutupi Kebenaran dalam Film "When They See Us"

29 Juli 2019   14:37 Diperbarui: 3 Juni 2020   08:46 4625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tulisan Trump di New York Times (nytimes.com)

Mungkin Korey Wise(Jharrel Jerome) masih bisa berjalan-jalan menikmati kota New York bersama kekasihnya jika saja tak pergi ke taman kota atau Central Park New York malam itu. 

Atau Kevin Richardson (Asante Blackk) yang mungkin saja esok hari akan menjadi hari bahagianya kala ia mampu mengerjakan berbagai kuis dari gurunya, andaikan ia tak pergi ke Central Park malam itu. 

Begitupun dengan 3 remaja lainnya yaitu Antron McCray(Caleel Harris), Yusef Salaam(Ethan Herisse) dan Raymond Santana(Marquis Rodrigues) yang sama-sama memilih Central Park sebagai tujuan mereka malam itu.

Sumber: Justjared.com
Sumber: Justjared.com
Tapi di Rabu malam itu, tanggal 19 April 1989, menjadi malam yang begitu mencekam dan tak terlupakan bagi siapapun yang ada di sekitar kawasan Central Park, Manhattan. 

Sebuah serangan dan perampokan dari sekelompok anak muda kemudian terjadi begitu saja dan memakan korban warga sipil. Polisi pun kemudian bergegas mengamankan puluhan anak muda yang diduga terlibat dalam rangkaian tragedi nahas malam itu.

Namun tak ada yang lebih menyeramkan selain melihat sesosok tubuh wanita tergeletak tak sadarkan diri di salah satu sudut taman, lengkap dengan berbagai luka parah di sekujur tubuhnya. Korban itu adalah Trisha Meili, yang beberapa jam sebelumnya memutuskan jogging ke taman tersebut.

Kesulitan mendapatkan pelaku tindak kekerasan, perampokan dan pemerkosaan terhadap Trisha Meili, polisi pun akhirnya meringkus beberapa pemuda yang ada di sekitaran tersebut. 

Kelima anak yang datang ke Central Park dengan berbagai alasan pribadinya tanpa melakukan tindak kejahatan tersebut pun akhirnya digelandang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

Namun alih-alih diminta keterangan, kelima anak yang tak saling mengenal tersebut dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tak pernah mereka lakukan, sembari dipaksa untuk mengakui bahwa mereka mengenal satu sama lain. 

Tanpa pendampingan orangtua yang seharusnya menjadi haknya, mereka dipukuli dan diancam hanya agar mengakui perbuatan mereka di depan polisi.

Sumber: Showsnob.com
Sumber: Showsnob.com
Meskipun pada akhirnya tak ditemukan bukti konkret yang menyatakan bahwa mereka bersalah, kelima anak yang masih berusia antara 14- 16 tahun itu pun akhirnya tetap dijebloskan ke dalam penjara yang memiliki durasi penahanan 5 sampai dengan 16 tahun. 

Sebuah kasus yang pada akhirnya menemukan keadilannya sendiri belasan tahun kemudian. Sebuah kasus yang pada akhirnya dikenal publik sebagai Central Park Five yang kemudian menjadi pengingat akan pedihnya rasialisme yang sudah begitu mengakar kuat di masyarakat.

Tentang Kekecewaan yang Menimbulkan Luka Dalam

Sumber: Time.com
Sumber: Time.com

"You can forgive but you won't forget" -Korey Wise-

Seperti halnya Chernobyl yang menggunakan format miniseri, When They See Us pun sama. Total hanya memiliki 4 episode dengan durasi masing-masing episodenya sekitar 1 jam, serial ini pun lantas membagi kisahnya dalam 2 bagian besar. 

Dua episode awal menceritakan awal mula mereka tertangkap hingga reaksi mereka kala diputuskan bersalah, sementara 1 episode lanjutnya memfokuskan kisahnya pada proses penerimaan diri mereka atas ketidakadilan yang dialami.

Dan 1 episode terakhir menjadi episode khusus yang menceritakan detail bagaimana Korey Wise dipenjara. Karena Korey Wise lah satu-satunya korban Central Park Five yang masuk dalam penjara dewasa dan mengalami hukuman paling lama dari keempat korban lainnya.

Sumber: Vox.com
Sumber: Vox.com
Lewat When They See Us, sang sutradara Ava DuVernay berhasil mengeksploitasi sisi kelam yang jarang digali dari kejadian yang menjadi katastrofi sosial bagi Korey Wise dan kawan-kawan. 

Bagaimana perasaan mereka kala melihat praktik ketidakadilan yang nyata di depan mereka pada usia yang masih sangat belia, pastinya menjadi trauma tersendiri yang begitu membekas. Menjadi kekecewaan yang tentunya menimbulkan luka begitu dalam.

Contohnya adalah Antron McCray yang harus melewatkan masa kanak-kanaknya dan tetap menyimpan dendam terhadap ayahnya yang "dianggap" ikut ambil bagian dari proses pemenjarannya, tentu menjadi contoh konflik besar yang terjadi pasca mereka keluar penjara. 

Atau Kevin Richardson yang sangat menyayangi keluarganya, harus tumbuh menjadi pria yang rapuh karena beberapa tahun hidupnya dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum waktunya di dalam penjara yang tentunya tanpa didampingi orangtua.

Sumber: Metro.co.uk
Sumber: Metro.co.uk
Begitupun dengan Raymond Santana yang pasca keluar dari penjara mengalami ketidakstabilan emosi dan krisis kepercayaan diri, di mana pada akhirnya menuntunnya melakukan tindak kriminal lain. 

Dan tak lupa, kondisi dan sisi emosional tiap keluarga dari mulai memperjuangkan keadilan selama proses sidang hingga akhirnya harus menerima kenyataan bakal ditinggal anak-anak mereka ke dalam penjara, juga turut disematkan Ava dalam serial ini. Sehingga kita pun bisa mendapatkan dua sudut pandang yang lebih luas. 

Yang pertama dari sudut pandang korban di dalam penjara dan yang kedua dari sudut pandang keluarga korban yang mengalaminya. Marah dan resah namun di satu sisi tak punya kekuatan untuk melawan kekuasaan, menjadi konflik yang timbul dari para orangtua yang tentunya sangat menguras emosi.

Sejatinya masih banyak hal lain terkait penggambaran sisi emosional yang terbentuk ketika seseorang mengalami salah tangkap dan perlakuan diskriminatif, apalagi dialami oleh anak-anak di bawah umur. 

Namun dengan cerdasnya, Ava DuVernay meramunya dengan tambahan unsur melodrama yang kuat sehingga perasaan sedih, terluka, kesal dan marah kala melihat deretan ketidakadilan tersebut mampu memainkan emosi penontonnya dengan sangat baik bahkan tak dipungkiri bisa memancing air mata untuk keluar.

Sebuah Kecacatan Proses Hukum dan Statement Sembarangan Donald Trump

Sumber: Deadline.com
Sumber: Deadline.com
Film ini pun sejatinya menyoroti kecacatan proses hukum yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keputusan yang tak hanya merugikan korban, namun juga menghancurkan reputasi aparat penegak hukum di AS kala itu.

Anak-anak tersebut dipaksa agar kasus sang pelari bisa segera terselesaikan, karena polisi sendiri kesulitan mendapatkan informasi dari korban yang hilang ingatan pasca kejadian tersebut. Mereka dipaksa hanya karena mereka remaja kulit hitam yang mendapatkan stereotip kriminal oleh penduduk Amerika bahkan dunia saat itu.

Sumber: Washingtonpost.com
Sumber: Washingtonpost.com
Meskipun tak ada sosok "penjahat utama" dalam serial ini, namun tak bisa dipungkiri sosok jaksa penuntut Elizabeth Lederer (Vera Farmiga) dan kepala kejahatan seks di kantor kejaksaan Distrik Manhattan, Linda Fairstein(Felicity Huffman), menjadi dua orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas keputusan memenjarakan anak-anak tak bersalah ini.

"The truth came out, the truth came out" -Antron McCray-

Bahkan ketika Matias Reyes mengakui perbuatannya tepat ketika Korey Wise memasuki masa penahanannya di tahun ke-14, kedua wanita tersebut tetap mencoba membuat propaganda bahwa Matias adalah salah satu anggota Central Park Five yang kabur. 

Artinya kelima anak tersebut tetap dianggap bersalah meskipun bukti konkrit menunjukkan Matias lah aktor tunggal atas pemerkosaan dan penganiayaan Trisha Meili.

Jika Elizabeth Lederer digambarkan sebagai seseorang yang masih memiliki keraguan atas kesalahan anak-anak tersebut, Linda digambarkan lebih yakin dan tegas atas keputusannya meskipun tak pernah didukung oleh bukti-bukti yang kuat.

Bahkan dilansir dari laman nytimes.com, atas penggambarannya dirinya di serial tersebut, Elizabeth Lederer pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari Columbia Law School di New York tanpa memberikan komentar lanjutan atas miniseri tersebut.

Sementara Linda Fairstein di kehidupan nyata menolak penggambaran dirinya di serial ini yang dianggap terlalu berlebihan. Namun pada kenyataannya, beliau tetap mengundurkan diri dari berbagai organisasi termasuk almamaternya, Vassar College. 

Bahkan Linda yang juga seorang penulis novel kriminal terkenal, harus menerima kenyataan bahwa buku-bukunya dilepas kontrak oleh penerbitnya.

Sumber: Tulisan Trump di New York Times (nytimes.com)
Sumber: Tulisan Trump di New York Times (nytimes.com)
Hal menarik lainnya adalah bagaimana miniseri ini mampu menangkap "kecacatan" cara pengambilan keputusan Trump yang grasa-grusu sedari dulu. 

Memasang iklan satu halaman penuh pada 4 koran lokal New York termasuk New York Times di tahun 1989, Trump membuat statement dengan huruf kapital yang berisi keinginannya mengembalikan hukuman mati bagi para pelaku khususnya para pelaku Central Park Five.

Dan entah hal ini berhubungan dengan maksud perlawanan terhadap Trump terkait pemilu presiden AS tahun depan, yang pasti melalui miniseri ini kita jadi mengetahui tabiat Trump dan bagaimana masyarakat Amerika sejatinya juga ikut terbelah kala itu antara yang setuju dengan Trump dan mengecam tindakan Trump. 

Namun hebatnya, pada rilisan berita nytimes.com di tanggal 18 Juni 2019 lalu, Trump tetap menolak permintaan maafnya terkait statement kontroversialnya kala itu. Dimana isinya kurang lebih seperti ini;

"You have people on both sides of that," he said at the White House. "They admitted their guilt." - Donald Trump pada wawancaranya dengan The New York Times.

Emmy Awards dan Suplemen Tambahan

Sumber: Metro.co.uk
Sumber: Metro.co.uk
Miniseri yang telah ditayangkan Netflix sejak 31 Mei 2019 ini, sontak menjadi miniseri yang banyak dibicarakan setelah Chernobyl. Karena selain menampilkan dramatisasi salah satu kasus kontroversial di dunia, miniseri ini juga menyajikan pengalaman visual yang memanjakan mata.

Sama seperti Chernobyl, sinematografi dalam miniseri ini mengambil peranan penting selain cerita dan skenarionya sendiri yang memang sangat kuat dan dalam. Sinematografer Bradford Young(Arrival, Solo: A Star Wars Story), mampu mentranslasikan sisi emosi yang mungkin sulit dipahami ke dalam visualisasi yang begitu nyata dan menyentuh hingga kita bisa ikut merasakan rasa sakitnya. 

Ditambah dengan scoring Kris Bowers (Green Book, Dear White People) yang komposisinya begitu padat dan menyentuh, tentunya menjadikan pengalaman menonton miniseri ini tak terlupakan.

Sumber: Jharrel Jerome (vulture.com)
Sumber: Jharrel Jerome (vulture.com)
Dari segi akting, tak bisa dipungkiri semua aktor cilik dan remaja menunjukkan akting briliannya masing-masing. Bagaimana "reka ulang" adegan kala proses interogasi di kantor polisi yang mengharuskan mereka berbohong dan menciptakan pergolakan batin yang luar biasa, mampu dibawakan dengan apik dan believable.

Dan khusus Jharrel Jerome sebagai satu-satunya aktor yang memerankan versi remaja dan dewasa sekaligus, dirinya mampu menampilkan perubahan sosok Korey Wise dari seorang remaja pengecut yang terpaksa harus masuk ke penjara dewasa hingga menjadi sosok pemberani yang memiliki integritas.

Bagaimana sisi emosionalnya terombang-ambing sembari tetap harus tabah menghadapi kultur penjara yang kasar dan jahat, menjadi alasan mengapa kemudian dirinya sangat pantas untuk menyabet gelar aktor terbaik di ajang Emmy 2019 kelak.

Dengan berbagai wow effect-nya tersebut, maka pantas saja jika kemudian miniseri ini dinominasikan dalam 16 kategori di ajang Emmy Awards 2019 termasuk didalamnya kategori Outstanding Limited Series. Dan tentu saja When They See Us semakin menambah total nominasi konten Netflix di ajang ini menjadi 117 dan hanya kalah dari HBO yang telah mendapat 137 nominasi.

"You try to live a normal life,but some of the things you've gone through never go away. But I had to stop caring about the labels people put on me" -Raymond Santana pada wawancaranya dengan MNBC terkait dokumenter The Central Park Five-

Sumber: Netflix.com
Sumber: Netflix.com
Sebagai serial yang berdasarkan kisah nyata, tentu kita membutuhkan suplemen lain yang bisa menambah wawasan kita terkait dramatisasi kejadian di dalamnya. Dan di platform Netflix juga tersedia wawancara eksklusif antara Oprah Winfrey dengan para penyintas Central Park Five ini. 

Dimana sajian ini akan membantu kita mengenal lebih dalam dengan 5 korban sebenarnya. Di mana mendengar cerita mereka secara langsung akan semakin menambah rasa haru dan bangga sekaligus, karena mereka tak hanya berhasil menjadi penyintas dalam penjara namun juga menjadi penyintas dari sebuah sistem yang mempraktikkan ketidakadilan secara nyata.

Namun Jika wawancara dengan Oprah dirasa masih kurang, maka dokumenter berjudul The Central Park Five garapan Ken Burns juga bisa menjadi referensi lain untuk semakin masuk ke dalam kisah aslinya.

Penutup

Sumber: Vulture.com
Sumber: Vulture.com
When They See Us jelas menjadi miniseri yang tak boleh dilewatkan begitu saja, khusnya bagi para penggemar drama berdasarkan kisah nyata. Penggambaran tiap karakter secara detail dan dalam baik selama menunggu putusan bersalah hingga bagaimana kehidupan sosial mereka pasca tragedi, tentu membuat miniseri ini sangat berisi dan tak sekadar menjadi drama historik semata.

Bersaing ketat dengan Chernobyl di ranah miniseri, tentunya akan membuat bingung dewan juri Emmy. Karena keduanya menyajikan sebuah miniseri yang benar-benar digarap nyaris sempurna dan memfokuskan kisahnya pada sisi emosional karakter yang sebelumnya tak akan bisa kita dapatkan jika hanya sekadar mengandalkan referensi buku atau jurnal sejarah.

Tontonlah dan rasakan perjalanan bersejarah bersama The Central Park Five sembari kita disadarkan bahwa ketidakadilan, rasisme dan diskriminasi terhadap strata sosial tertentu masih terjadi bahkan hingga saat ini.

Tapi setidaknya When They See Us mengajari kita bahwa kebenaran akan selalui menemui jalan terangnya dan akan membungkam segala kejahatan yang menimpa kita. Meskipun awan gelap memang terkadang lebih dulu menutupi langkah hidup kita hingga bertahun-tahun.

Salam Kompasiana.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun