Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"X-Men: Dark Phoenix", Penutup Saga yang Antiklimaks dan Mudah Terlupakan

9 Juni 2019   22:57 Diperbarui: 10 Juni 2019   15:35 8247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dark Phoenix menjadi salah satu saga X-Men fenomenal yang dirilis di era 80-an. Memfokuskan penceritaannya pada karakter Jean Grey, Dark Phoenix juga menjadi salah satu komik yang memiliki nuansa dark hingga menjadikannya salah satu pelopor komik yang mengenalkan sosok villain modern. 

Premisnya sederhana. Bagaimana jika seorang superhero kelebihan kekuatan super dalam dirinya sendiri dan membuatnya berada di persimpangan antara kebaikan dan kejahatan.

Sumber: store.marvelcomics.com
Sumber: store.marvelcomics.com
Dark Phoenix pernah juga menjadi referensi cerita untuk mengakhiri season X-Men animated series era 90-an meskipun mengalami beberapa perubahan di sisi penceritaannya.

Brett Ratner yang kemudian ditunjuk menjadi nakhoda film penutup trilogi awal X-Men pun kemudian mencoba mengadaptasi cerita Dark Phoenix tersebut untuk tampil di layar lebar lewat film X-Men: The Last Stand tahun 2006 silam.

Gagal baik secara kritik maupun respon para fansnya, The Last Stand nampak menjadi sebuah kesalahan besar kala disebut menyia-nyiakan potensi kisah Dark Phoenix yang memang cukup rumit diadaptasi ke versi sinematik. 

Alih-alih memfokuskan filmnya pada kisah pengorbanan Jean Grey, The Last Stand justru antiklimaks dengan membuat kisah kepahlawanan untuk Logan dengan tambahan kemunculan sisi emosional Logan lewat adegan "pembunuhan paksa" kekasihnya.

Sumber: Foxmovies.com
Sumber: Foxmovies.com
Pada suatu wawancara yang dikutip oleh Time.com, Simon Kinberg yang pada saat itu ada di kursi produser dan penulis pun mengaku bahwa The Last Stand merupakan salah satu kekecewaan terbesarnya sepanjang hidup. 

"My biggest regret from The Last Stand is that the Dark Phoenix story, which is the most enduring story in the history of this very esteemed saga, was given a back seat in the movie. So when I reset the timeline, I was absolutely conscious that what that would allow us to do is tell the Dark Phoenix story again." -Simon Kinberg.

Lantas, apakah Dark Phoenix berhasil menjadi "revisi" atas apa yang ditampilkan oleh The Last Stand dulu?

Sinopsis

Sumber: 20th Century Fox
Sumber: 20th Century Fox
Memulai kisahnya di tahun 70-an, jauh sebelum Jean Grey masuk akademi X-Men, Jean Grey kecil (Summer Fontana) berada di kursi belakang mobilnya kala ibunya Elaine (Hannah Anderson) dan ayahnya John (Scott Sheperd) mengemudi sambil menikmati lagu kesayangan mereka. 

Tak bisa fokus terhadap kekuatan pikirannya, Jean pun tak sengaja menyebabkan orangtuanya mengalami kecelakaan mobil yang mengenaskan, sementara dirinya tak luka sedikitpun.

Cerita pun kemudian maju ke tahun 90-an kala anggota X-Men ditugaskan untuk menolong para astronot yang terjebak di luar angkasa di tengah badai kosmik yang mematikan.

Sumber: 20th Century Fox
Sumber: 20th Century Fox
Bertarung dengan waktu, para anggota X-Men pun berjibaku menolong para astronot sebelum terjadi tubrukan antara pesawat dengan badai kosmik tersebut. Namun tak disangka, Jean (Sophie Turner) yang masih berada dalam pesawat ulang alik harus terkena badai kosmik mematikan tersebut.

Namun alih-alih bertemu dengan ajal, Jean justru menyerap badai kosmik tersebut ke dalam tubuhnya. Jean pun kini memiliki kekuatan yang luar biasa, dimana dirinya bahkan tak sanggup mengendalikannya.

Sekuel yang Sejatinya Tak Diperlukan

Matthew Vaughn (vibe.com)
Matthew Vaughn (vibe.com)
Jika anda mengikuti franchise X-Men, anda pasti sudah tahu bahwa Matthew Vaughn, sutradara X-Men: First Class, terpaksa mengundurkan diri akibat perbedaan visi dengan para petinggi 20th Century Fox. 

Alih-alih melanjutkan sekuelnya, Vaughn malah mengerjakan proyek Kingsman yang hebatnya juga mendapat respon positif di pasaran, baik oleh para kritikus maupun penonton kasual.

Ide Vaughn untuk membuat trilogi baru lewat kisah para anggota X-Men yang berusia lebih muda, nyatanya dimentahkan begitu saja. Pasca First Class, seharusnya ada 1 film X-Men lagi sebagai jembatan sebelum Vaugh mengakhiri saganya lewat film X-Men: Days of Future Past.

"That's one of the reasons I didn't continue, because they didn't listen to me. My plan was First Class, then second film was new young Wolverine in the 70s to continue those characters, my version of the X-Men. So you'd really get to know all of them, and my finale was gonna be Days of Future Past. That was gonna be my number three where you bring them all... because what's bigger than bringing in McKellen and Michael and Stewart and James and bringing them all together?" - Matthew Vaughn (comingsoon.net)

Melihat kutipan penjelasan Matthew Vaughn diatas, sudah jelas bahwa Days of Future Past (DoFP) memang didesain untuk mengakhiri sebuah saga fenomenal. DoFP memang memiliki sensasi layaknya menyaksikan Endgame, dimana seharusnya kisahnya berhenti disitu dan meninggalkan histeria para fansnya dengan penampilan "all star" tak terlupakan lewat kerja sama antara X-Men muda dan X-Men tua.

X-Men:Days of Future Past (denofgeek.com)
X-Men:Days of Future Past (denofgeek.com)
Tapi bukannya berhenti, Fox justru meneruskannya dengan menelurkan Apocalypse dan kini Dark Phoenix. Maka bukan hanya mengganggu timeline yang sudah apik dibangun, Fox juga sejatinya membuat sekuel yang tak benar-benar diperlukan.

"When I finished the Days of Future Past script with it ready to go I looked at it and said, "I really think it would be fun to cast Tom Hardy or someone as the young Wolverine and then bring it all together at the end." Fox read Days of Future Past and went "Oh, this is too good! We're doing it now!" And I said, "Well what do you do next? Trust me you've got nowhere to go." Then they did Apocalypse and it's like... If you flip that 'round even it would have been better. Hollywood doesn't understand pacing. Their executives are driving 100 miles-per-hour looking in the rear-view mirror and not understanding why they crash."- Matthew Vaughn

Ambisi "Logan" Baru yang Gagal Total

Indiewire.com
Indiewire.com
Pada sebuah kesempatan wawancara dengan Times, Simon Kinberg mengatakan bahwa sejatinya Dark Phoenix ingin mengikuti jejak Logan. Dimana filmnya mengambil elemen dari X-Men untuk kemudian dibuatkan ceritanya sendiri yang tak berhubungan langsung dengan film-film X-Men sebelumnya.

Itulah sebabnya di beberapa negara judulnya hanya Dark Phoenix saja tanpa embel-embel "X-Men". Dan layaknya Logan, Dark Phoenix menitikberatkan filmnya pada character driven, dalam hal ini adalah Jean Grey.

Sumber: 20th Century Fox
Sumber: 20th Century Fox
Memulai premisnya dengan membangun sisi emosional yang apik, Dark Phoenix justru gagal fokus pada character drivennya. 

Alih-alih menggambarkan sosok Jean Grey yang dilema terhadap beban kekuatannya sendiri, sosok alien dari bulan yang berperan sebagai " mastermind" dan tertarik terhadap kekuatan besar yang terserap Jean Grey kala menuntaskan misi di luar angkasa, justru hadir mengacaukannya.

Sang alien (dalam tubuh aktris Jessica Chastain) tersebut tak punya ambisi atau latar belakang cukup kuat untuk menjadikannya sesosok villain yang harus dihancurkan. Maka ketika mereka "menggerakkan" Jean untuk bertindak jahat pun, hal tersebut nampak cukup hambar.

Sumber: 20th Century Fox
Sumber: 20th Century Fox
Adegan kematian pun nampak tampil biasa saja. Karakter Raven yang di film ini berperan sebagai "Fridging Character" juga tak mampu menunjukkan kenapa kematiannya pantas menggerakkan para mutant untuk saling bertarung dan mencari Jean Grey. Hal itulah yang menyebabkan adegan akhir film ini nampak antiklimaks. 

Maka jika Dark Phoenix kemudian dimaksudkan sebagai Logan baru, maka sudah dipastikan film ini gagal. Adegan finalnya tak benar-benar membuat kita merasakan perpisahan yang emosional layaknya kematian Logan.

X-Men: The Last Stand (firstpost.com)
X-Men: The Last Stand (firstpost.com)
Yang ada justru sebuah pengulangan kisah The Last Stand yang kali ini turut memasukkan unsur pengorbanan. Namun sayangnya, hal tersebut juga tak mampu tampil lebih baik.

Para Aktor yang Menyelamatkan Keseluruhan Film

Collider.com
Collider.com
Film ini memang cukup mengecewakan, namun ternyata tidak dengan penampilan para aktornya. James McAvoy, Michael Fassbender bahkan Sophie Turner jelas menjadi roda penggerak yang membuat film ini masih memiliki kharisma X-Men muda yang telah dibangun sejak First Class dulu.

McAvoy jelas paling menarik karena berhasil menampilkan sosok Charles Xavier yang makin jenius dan pandai dalam hal tata kata namun di satu sisi juga semakin menunjukkan keegoisannya. Bahkan selisih pendapat dengan Raven (Jennifer Lawrence) menjadi salah satu konflik menarik yang sayangnya tak dieksplorasi lebih jauh.

Pop.inquirer.net
Pop.inquirer.net
Nicholas Hoult si mantan kandidat Batman baru pun mampu memberikan penampilan terbaiknya. Karakter Beast-nya kini lebih complicated berkat adanya konflik hati yang turut membentuk jalinan kisah utama film ini.

Sederhanya, para aktor film ini nampak all out dalam memberikan penampilan final mereka. Sayang, kedalaman kisah dan konflik utama yang cukup dangkal membuat penampilan brilian mereka nampak sia-sia.

Namun setidaknya mereka berhasil membuat kita lupa bahwa sejak First Class yang berlatar tahun 60-an hingga Dark Phoenix yang berlatar tahun 90-an, baik Prof. X, Magneto, Raven hingga Beast tak mengalami penuaan yang berarti. 

Entah, serum apa yang mereka konsumsi hingga tetap awet muda selama 30 tahun tersebut, heuheu.

Sajian X-Men yang Tetap Menghibur

Geektyrant.com
Geektyrant.com
Namun dibalik segala kekurangannya, tak bisa dipungkiri X-Men: Dark Phoenix adalah sajian X-Men yang masih cukup menghibur. Setidaknya, Dark Phoenix masih menyajikan elemen-elemen X-Men yang kita cintai.

Pesawat para mutant, kostum tempur warna kuning dan navy yang jadi ciri khasnya, hingga tampilan Jean Grey dalam rage mode nampak memesona. 

Bahkan berbagai efek pertarungan dalam parade CGI kelas atas pun tampil maksimal dan memukau sesuai ciri khas franchise ini. Dan efek slow motion-nya Quicksilver jelas masih menjadi primadona.

Express.co.uk
Express.co.uk
Sementara sinematografi film ini tak bisa dipungkiri masih jadi salah satu yang terbaik. Mauro Fiore yang sebelumnya menjadi sinematografer untuk film-film seperti Avatar dan The Island, mampu mengkombinasikan nuansa dark khas X-Men dengan unsur retro yang juga stylish dan artistik.

Dari sisi scoring, tak bisa dipungkiri tangan dingin Hans Zimmer mampu membuat nuansa megah di sepanjang film. Olahan musik Hans Zimmer nampak memberikan nyawa tambahan di tengah film yang nampak membosankan dan antiklimaks tersebut.

Akhir X-Men dengan Muatan Kisah yang Gelap

Hollywoodnews.com
Hollywoodnews.com
Seperti kita tahu, jauh sebelum Nolan dikenal lewat penceritaan Batman yang lebih kelam dan dewasa, X-Men sudah mengenalkan hal tersebut lebih dulu. Bahkan, X-Men yang dirilis di tahun 2000 silam menjadi titik balik bagi perkembangan film-film superhero di tahun-tahun selanjutnya yang cenderung lebih mengedepankan sisi realistis dan dewasa.

Dark Phoenix pun masih mempertahankan hal tersebut dengan kekecewaan, kematian, dan tragedi menjadi motor penggerak kisah kelamnya. Namun tak seperti Endgame yang masih menyisipkan komedi slapstick bahkan cringe di beberapa adegannya, Dark Phoenix justru nampak tak memberikan ruang tawa yang cukup bagi penonton.

Namun itulah X-Men. X-Men yang memang memiliki ciri khasnya sendiri sejak pertama kali muncul di layar lebar. X-Men yang sebisa mungkin tak menjadikan komedi sebagai jualan utamanya.

Dan Dark Phoenix menyadarkan kita bahwa ciri khas tersebut sejatinya akan berakhir seiring dengan bergabungnya X-Men ke dalam MCU. Maka bisa dipastikan mereka akan muncul dengan pendekatan yang lebih ramah bagi segala usia di masa depan.

So, say goodbye to Fox's X-Men.

Penutup

Sumber: 20th Century Fox
Sumber: 20th Century Fox
Sebagai saga penutup franchise X-Men yang diproduksi 20th Century Fox, Dark Phoenix nampak tak mampu memberikan sebuah jalinan kisah yang benar-benar kuat. Antiklimaks, bahkan tak bisa dipungkiri film ini cenderung mudah terlupakan.

Character driven yang tak digarap maksimal hingga banyaknya dialog klise, membuat film ini tak memiliki bobot yang sama dengan pendahulunya. Belum lagi banyaknya plot hole dan kekacauan timeline yang muncul akibat film ini. 

Maka, meskipun sering tak sepakat dengan akumulasi penilaian kritikus di rotten tomatoes, namun kali ini nampaknya saya sepakat jika situs tersebut memberikan rating 22% alias tomat busuk untuk film ini.

Forbes.com
Forbes.com
Karena sejatinya tak benar-benar ada alasan mengapa sekuel ini harus dibuat. Dan mengapa kisah ini dipilih untuk mengakhiri sebuah saga yang telah menemani kita hampir 20 tahun ini pun nampak menjadi sebuah pilihan yang tak bijaksana.

Namun begitu, jika anda tipikal penonton yang memang cukup senang dengan sajian visual yang megah dan seru khas film superhero, film ini masih menghibur untuk ditonton.

Namun pesan saya, jangan berekspektasi lebih jika tak mau dikecewakan film ini. Apalagi jika ekpektasinya akan semegah Endgame, lebih baik buang jauh-jauh, heuheu..

X-Men: Dark Phoenix mulai tayang di tanggal 12 Juni 2019 dan Midnight special screening nya di tanggal 8 Juni 2019.

Skor: 5.5/10

Salam kompasiana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun