Dark Phoenix menjadi salah satu saga X-Men fenomenal yang dirilis di era 80-an. Memfokuskan penceritaannya pada karakter Jean Grey, Dark Phoenix juga menjadi salah satu komik yang memiliki nuansa dark hingga menjadikannya salah satu pelopor komik yang mengenalkan sosok villain modern.Â
Premisnya sederhana. Bagaimana jika seorang superhero kelebihan kekuatan super dalam dirinya sendiri dan membuatnya berada di persimpangan antara kebaikan dan kejahatan.
Brett Ratner yang kemudian ditunjuk menjadi nakhoda film penutup trilogi awal X-Men pun kemudian mencoba mengadaptasi cerita Dark Phoenix tersebut untuk tampil di layar lebar lewat film X-Men: The Last Stand tahun 2006 silam.
Gagal baik secara kritik maupun respon para fansnya, The Last Stand nampak menjadi sebuah kesalahan besar kala disebut menyia-nyiakan potensi kisah Dark Phoenix yang memang cukup rumit diadaptasi ke versi sinematik.Â
Alih-alih memfokuskan filmnya pada kisah pengorbanan Jean Grey, The Last Stand justru antiklimaks dengan membuat kisah kepahlawanan untuk Logan dengan tambahan kemunculan sisi emosional Logan lewat adegan "pembunuhan paksa" kekasihnya.
"My biggest regret from The Last Stand is that the Dark Phoenix story, which is the most enduring story in the history of this very esteemed saga, was given a back seat in the movie. So when I reset the timeline, I was absolutely conscious that what that would allow us to do is tell the Dark Phoenix story again." -Simon Kinberg.
Lantas, apakah Dark Phoenix berhasil menjadi "revisi" atas apa yang ditampilkan oleh The Last Stand dulu?
Sinopsis