Gelaran PIFF (Plaza Indonesia Film Festival) 2019 telah berakhir hari Minggu lalu, 17 Februari 2019. Gelaran festival yang diadakan sejak 14 Februari tersebut meninggalkan kesan yang cukup baik terkait film-film festival yang dibawanya. Ave Maryam, Kucumbu Tumbuh Indahku serta Cold War yang menjadi nominasi Oscar di kategori Best Foreign Language Film, menjadi beberapa contoh film-film menarik yang diputar di festival film yang tiketnya cukup sulit didapatkan itu.
Beruntung, saya termasuk ke dalam barisan orang-orang yang berhasil mendaftar dan berkesempatan menikmati PIFF meskipun hanya mendapatkan kesempatan menonton 1 film yaitu Capharnaum atau berjudul Capernaum di beberapa negara.
Tema unik yang dibarengi dengan potret kelam kehidupan jalanan, eskploitasi anak dan kemiskinan tersebut juga menjadikan film ini cukup dijagokan banyak orang untuk mendapatkan piala Oscar pada kategori yang ditempatinya.
Film yang disutradarai oleh Nadine Labaki ini juga menjadi film Lebanon kedua yang berhasil masuk ke dalam nominasi Oscar setelah sebelumnya film The Insult garapan Ziad Doueiri melakukannya di tahun 2017 silam. Capharnaum juga menjadi film pertama Nadine Labaki yang masuk nominasi Oscar setelah 2 film sebelumnya yaitu Caramel (2007) dan Where do We Go Now? (2011) harus puas hanya sampai di babak submisi saja seperti halnya film Marlina di tahun ini.Â
Sinopsis
Film kemudian memiliki dua sisi utama penceritaan. Sisi pertama menceritakan keadaan di ruang sidang, dengan sisi lainnya menceritakan kilas balik perjalanan serta proses bagaimana akhirnya Zain bisa masuk ke dalam ruang sidang tersebut.
Perjalanan Zain menyusuri kota Beirut yang pada akhirnya juga mempertemukannya dengan imigran asal Ethiopia, Rahil(Yordanos Shiferaw) beserta anak balitanya Yonas, kemudian menjadi perjalanan yang mengajarkan proses bertahan hidup yang sangat besar bagi Zain. Sebuah perjalanan yang membentuk Zain menjadi seorang anak yang berbeda, seperti yang terlihat pada ruangan sidang tersebut.
Sebuah perjalanan yang pada akhirnya juga membawa kita ke dalam satu pertanyaan besar di akhir kisah. Layakkah Zain menggugat orang tuanya di ruang sidang tersebut?
Potret Kemanusiaan yang Jujur nan Getir
Selain Capharnaum, sejatinya tak banyak film Timur Tengah atau berlatar Timur Tengah yang saya saksikan. Namun beberapa yang saya saksikan memang inspiratif dan mengena hingga saat ini.Â
Capharnaum yang selain memiliki arti sebuah kota kuno yang terkutuk dalam alkitab, juga memiliki arti kacau atau chaos dalam bahasa Arab. Seperti judulnya, isi film ini pun menggambarkan berbagai keadaan yang bisa dibilang cukup kacau terkait potret keras kehidupan masyarakat kelas sosial bawah yang terkadang mengabaikan unsur kemanusiaan.
Sementara Sahar menjadi contoh bahwa banyak negara khususnya di Timur Tengah yang masih melakukan praktik diam-diam terkait pernikahan paksa anak dibawah umur. Hukum adat yang memperbolehkan hal tersebut namun kerap bertentangan dengan hukum negara, justru semakin mengancam keselamatan dan kebebasan sang anak kala tiba waktu bagi mereka untuk bisa "dijual" orangtuanya.
Hal ini tergambar jelas dalam diri orangtua Zain yang lebih fokus pada "program penambahan anak" namun malah abai dalam hal tanggung jawab, perhatian, pemenuhan ekonomi serta pendidikan kepada anak.Â
Film ini sejatinya juga ingin menampilkan 2 kondisi berbeda dalam tingkat sosial yang sama. Orangtua Zain yang masa bodoh terhadap anak-anaknya sangat berkebalikan dengan apa yang dilakukan Rahil sang imigran gelap terhadap anak satu-satunya. Padahal secara status ekonomi, mereka sama.Â
Hal tersebut semakin menegaskan bahwa tak selamanya kemiskinan dan urusan perut mengubah sikap seseorang menjadi lebih keras dan tak peduli terhadap anak bahkan sesama. Justru rendahnya sisi kemanusiaan itulah yang membuat seseorang abai terhadap keberadaan manusia lain di sekitarnya, tak peduli dari tingkat sosial mana dia berasal.Â
Sisi kemanusiaan yang kurang tersebut tentunya timbul akibat dari mata rantai yang salah dan terjadi secara turun temurun. Namun sejatinya masih sangat memungkinkan untuk diperbaiki.
Akting Menawan Zain si Pengungsi Suriah
Zain jelas mendapat highlight paling besar dalam film ini. Aktingnya sebagai anak kecil yang terus mengalami keras dan getirnya hidup di jalanan Beirut yang semrawut, mampu ditampilkannya dengan sangat baik. Zain Al Rafeea mampu menunjukkan penampilan meyakinkan sebagai seorang anak yang menyimpan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, namun di satu sisi juga memiliki rasa sayang yang tulus dan mau berkorban hingga membuatnya bisa survive dari tiap keadaan sulit.
Teknis yang Mumpuni
Unsur komedi pun ditampilkan dengan porsi yang sesuai dan timing yang tepat. Sehingga kita tak selalu disuguhi adegan yang menguras emosi, namun juga disuguhi beberapa punchline komedi yang mampu menciptakan ledakan tawa seisi bioskop.
Dengan visual yang unik, segar serta tone khas film-film Timur Tengah, membuat Capharnaum begitu menarik untuk disaksikan. Pun sinematografinya sangat ciamik berkat dominannya teknik pengambilan gambar bergerak disertai pengambilan gambar melebar untuk memperlihatkan lanskap Beirut secara mendetail.
Ditambah naskah yang kokoh serta akting nyaris tanpa cacat dari tiap-tiap aktor amatir di film ini, tentu menjadikan Capharnaum sebagai film inspiratif yang tak hanya artistik secara visual namun juga menyentuh dan mampu menghadirkan wow effect bagi siapapun yang menontonnya.
Penantang Serius Roma di Ajang Oscar
Berbeda dari Shoplifters yang juga sama-sama menampilkan isu kehidupan masyarakat kelas sosial bawah, Capharnaum lebih fokus terhadap berbagai macam isu yang lebih umum terjadi di masyarakat. Sementara Shoplifters lebih bersifat personal karena memiliki potret kemiskinan dalam lingkup bahasan yang lebih kecil, yaitu dalam penggambaran sebuah keluarga dan rahasia di dalamnya.
Nadine Labaki yang Percaya akan Perubahan Sosial Melalui Film
"I don't know why I was born if no one is going to love me, if no one is going to kiss me before I go to sleep, if I'm going to be beaten up every day."
Kutipan diatas merupakan jawaban salah satu anak jalanan yang diwawancara Nadine terkait pertanyaan bahagiakah mereka masih bisa hidup di dunia. Jawaban yang didominasi kata 'tidak' itulah yang kemudian menjadi inspirasi pembuatan film ini dengan tema gugatan anak pada orangtuanya.
Nadine paham bahwa tak hanya di Lebanon saja namun juga di seluruh dunia, banyak anak-anak yang masih hidup jauh dari kata layak. Jauh dari yang namanya pendidikan, bahkan jauh dari sebuah keluarga yang harmonis. Mereka kerap menjadi survivor dalam kerasnya kehidupan jalanan. Dimana usia mereka sejatinya belum layak untuk mendapatkan hal-hal tersebut.
Tentu saja melalui film ini Nadine ingin menyampaikan sebuah potret jujur kehidupan anak jalanan yang jarang terexpose di media. Nadine ingin melalui film ini banyak orang yang menjadi tahu, sadar bahkan tersentuh hatinya untuk membuat sebuah gerakan perubahan yang konkrit bagi jutaan anak-anak yang perlu diselamatkan di seluruh dunia.Â
Penutup
Pesan saya hanya satu. Tontonlah film ini jika kelak akhirnya diputar di bioskop tanah air, gelaran film festival di daerah anda atau jika kelak ternyata muncul pada platform streaming semisal Netflix, iFlix atau Hooq.
Percayalah, akan banyak perspektif baru seputar kemanusiaan yang akan didapat setelah menyaksikan film ini. Sisi kemanusiaan kita pun seakan diuji setelah melihat pahit dan getir kehidupan jalanan yang ditampilkan dengan sangat jujur ini.
Salam Kompasiana.
Skor: 9/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H