Pada tulisan sebelumnya saya mereview film asal Perancis berjudul Le Jeu yang mengisahkan pertemuan sahabat lama dalam sebuah acara makan malam yang berakhir mencekam. Sebuah film yang dengan cerdas menggunakan latar tempat minim namun dengan dialog dan pengembangan karakter yang cukup kuat selama makan malam berlangsung.Â
Tentu sulit menciptakan sebuah kisah dengan latar tempat yang minim. Selain berpotensi menjadi film yang membosankan karena berada di situ-situ saja, film dengan latar minim juga memiliki tantangan untuk menciptakan sebuah cerita dengan ritme yang pas sehingga tidak ditinggalkan penontonnya.
Entah itu melalui tema yang bisa terus dikembangkan dengan lebih luas atau melalui dialog serta interaksi antar karakter yang tidak membosankan dan tentu saja mengundang rasa penasaran.Â
Nah, tipikal film seperti itu kebetulan saya temui kembali. Namun kali ini bukan dalam bentuk film melainkan serial televisi yang berasal dari negeri sakura.
10 episode tambahan kemudian diproduksi Netflix Jepang dan dirilis secara global di tahun 2016. Semua serial dan 2 film Midnight Diner disutradarai oleh duo Joji Matsuoka dan Nobuhiro Yamashita.
Kebetulan saya menyaksikan versi 10 episode tambahannya di Netflix. Itupun tidak sengaja karena masuk dalam tab suggestion for you. Karena penasaran dan tampaknya menarik, saya pun mencoba untuk menyaksikan karena durasi tiap episodenya pun sangat sebentar yaitu hanya sekitar 25 menit. Tak terasa, episode demi episode pun mengalir begitu saja dan seketika saya pun jatuh cinta dengan serial ini.
Dari Tiap Makanan Muncul Sebuah Kisah
Midnight Diner sendiri menceritakan seorang pemilik restoran kecil yang disebut Master. Master membuka restorannya dari mulai tengah malam hingga jam 7 pagi di sebuah jalan kecil di sudut kota Tokyo yang ramai dan selalu hidup 24 jam.
Master hanya menyediakan bir dan sup miso babi sebagai standar makanan, namun pelanggannya bebas memintanya memasak apapun asalkan bahannya tersedia atau bisa juga dengan cara si pelanggan menyediakan bahan-bahan masakannya sendiri.
Ada kisah haru tentang semangkuk mie tan men yang akhirnya membawa seorang penyiar Radio bertemu dengan supir taksi yang ternyata mantan aktris Super Sentai yang dikaguminya semasa kecil. Atau kisah sepiring Corn Dog yang membawa obrolan antara seorang komedian dengan asistennya yang kini jauh lebih terkenal. Dimana obrolan mereka kemudian sempat meninggi dan berakhir dengan pertarungan antara si bos dan asisten tersebut.
Intinya, dari setiap makanan tersebut muncul kisah-kisah yang cukup kuat. Entah dimulai dari nostalgia akan makanan yang dimakan ataupun dari obrolan dengan sesama tamu yang kebetulan makan makanan yang sama. Tiap kisahnya memiliki tema yang berbeda-beda seperti perpisahan, pengorbanan, cinta bertepuk sebelah tangan, bahkan pengalaman horor seperti pada episode Sour Plum.
Pelajaran Hidup dan Akhir Bahagia
Midnight Diner juga selalu memberikan pelajaran hidup di tiap episodenya yang didalamnya juga turut menyertakan isu sosial di Jepang.
Seperti orang Jepang yang takut mengalami kesendirian karena sudah berumur, atau seorang aktris porno yang takut berinteraksi karena stereotip negatif yang melekat padanya, hingga isu penggusuran apartemen terkait pembangunan stadion olimpiade.
Bahkan saking bahagianya akhir cerita, setiap karakter di tiap episodenya pun mengarahkan obrolannya ke arah penonton sembari mengucapkan salam khas Jepang yang menandai berakhirnya episode tersebut. Ya, serial ini juga terkadang menggunakan metode breaking the 4th wall untuk bisa berinteraksi dengan penontonnya.
Restoran Sebagai Tempat Sakral
Master yang diperankan Kaoru Kobayashi menjadi semacam penjaga kesakralan restoran miliknya. Master membuat restoran kecil miliknya bukan hanya sebagai tempat makan dan minum bir, namun juga tempat dimana para pelanggannya bisa saling berhubungan dan berinteraksi.
Dengan tidak mengintervensi obrolan pelanggannya, maka akan tercipta dialog demi dialog yang merekatkan interaksi antar pelanggannya. Dan hal itulah yang diinginkan Master pada restoran kecilnya agar tetap hangat dan guyub.
Satu-satunya intervensi yang dilakukan Master adalah ketika terjadi perkelahian antara bos dengan asistennya yang akhirnya membuat Master menyiram mereka dengan sebotol bir agar berhenti.
Master jelas menjaga tempat tersebut agar bebas perkelahian dan tetap sakral sebagai tempat berkumpul dan merekatkan hubungan antar personal.
Visualisasi yang Hangat dan Menggugah Selera
Yang paling saya suka dari serial ini adalah kesederhanaan visual yang ditampilkan. Kamera tidak banyak bergerak, bahkan cenderung stagnan agar bisa fokus ke mimik wajah karakter yang berubah-ubah seiring bertambahnya intensitas dialog. Tone warna yang digunakan pun cenderung natural sehingga membuat kita seakan ikut ke dalam resto kecil milik Master tersebut.
Midnight Diner Sebagai Inspirasi Acara Televisi di Indonesia
Dengan Midnight Diner yang sudah diadaptasi ke dalam bentuk film serta menjadi serial tv di China maupun di Korea, sejatinya acara ini juga bisa ditayangkan di Indonesia. Entah serial tv aslinya yang ditayangkan disini atau acara tv buatan sendiri yang mengambil inspirasi dari serial tersebut.
Terlebih saat ini acara tv nasional sedang mengalami krisis acara berkualitas karena didominasi oleh acara "alay" dan sinetron azab yang semakin hari semakin ngawur temanya.
Untuk itulah dibutuhkan sebuah acara tv yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, narasi sederhana serta membuat penontonnya sabar menunggu episode barunya setiap hari.
Dimana dari tiap seduhan kopi atau masakan ala warteg tercipta obrolan antar pengunjung yang berbeda profesi semisal driver ojol, supir taksi, karyawan, hingga pegawai negeri sipil dengan tak lupa membawa bumbu isu sosial semisal toleransi, klaim BPJS, penggusuran di ibu kota, isu politik hingga birokrasi pemerintah yang belum maksimal.
Tentu dengan narasi sederhana seperti itu, penonton dari berbagai kalangan pun pasti bisa menikmatinya. Pesan yang kuat, membawa tren yang sedang berkembang, serta profesi karakternya yang relevan dan tidak muluk-muluk, pasti akan membuat serial seperti ini diterima khalayak luas.Â
Asal, akhir bahagia dalam tiap episode tetap harus dipertahankan. Karena dengan beban hidup masyarakat yang sudah berat khususnya masyarakat ibukota, menyaksikan kisah yang sedih atau tragis tentu tidak akan menambah semangat dan harapan baru dalam hidup yang sejatinya dibutuhkan penonton dari sebuah acara hiburan di televisi.Â
Tambah penat kepala ini nanti kalau disuguhi acara tragis dan sedih-sedih terus, hehe.
Penutup
Midnight Diner tentu saja menjadi serial televisi yang cukup menghibur dan bisa dinikmati oleh siapapun. Banyaknya nilai hidup dan filosofis yang terkandung dalam tiap episodenya menjadikan acara ini sebagai hiburan yang sarat akan nilai positif.
Bisa dibilang inilah contoh hiburan next-gen yang dibutuhkan berbagai generasi dari mulai generasi X, Y bahkan Z. Midnight Diner juga menjadi semacam hidden gem yang sayang untuk dilewatkan.
Entah itu ditayangkan versi aslinya, adaptasinya atau serial lokal yang mengambil inspirasi dari serial tersebut. Karena memang sudah cukup lama kita tidak memiliki acara tv yang berkesan layaknya Si Doel dan Keluarga Cemara yang kisahnya ringan, relevan dan memiliki makna hidup yang cukup dalam di tiap episodenya.
Ya, setidaknya saya mencoba bermimpi dulu stasiun televisi Indonesia bisa menayangkan serial televisi seinspiratif Midnight Diner ini. Pun jika suatu hari akhirnya benar tercipta, saya juga bermimpi bahwa acara seperti ini tidak cepat mati karena kalah pamor dengan acara hiburan campur aduk seperti yang saat ini sedang digandrungi.
Sembari saya bermimpi, bolehlah teman-teman kompasianer mencari serial televisi ini. Entah versi Netflix nya, versi televisi TBS atau mungkin versi dwilogi filmnya. Coba tonton dan resapi tiap episodenya, pasti akan segera jatuh cinta dengan serialnya.Â
Jika tidak, ya berarti anda termasuk golongan pecinta acara televisi yang nirfaedah itu heuheuheu.
Salam kompasiana.