Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama FEATURED

Geliat Restorasi Film Nasional untuk Generasi Milenial

30 Maret 2018   20:28 Diperbarui: 30 Maret 2020   15:24 5234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan dan perkembangan film nasional di Indonesia sejatinya telah melalui proses yang cukup panjang. 

Diawali dengan film bisu pertama yang diproduksi di tahun 1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng, sutradara Belanda yaitu G.Kruger dan L.Heuveldorp berhasil memperkenalkan film ke masyarakat Indonesia dengan cerita legenda tanah air populer.

Meskipun dibesut oleh sutradara asal Belanda, nyatanya film yang ditayangkan pertama kali di teater Elite and Majestic yang berada di kota Bandung ini, didukung oleh aktor-aktor lokal pada masa itu. Meskipun film ini mengangkat legenda lokal, pada kenyataannya film ini kurang laris di pasar Indonesia sendiri.

Masih terkotak-kotaknya kebudayaan masyarakat pada saat itu menyebabkan film ini kurang laris di luar Jawa Barat, pun kurangnya pendanaan menjadikan kualitas film ini tak sebaik film-film import pada masa itu.

sumber: suaratangsel.com
sumber: suaratangsel.com
Namun di balik segala kekurangannya, film tersebut lah yang kelak menjadi sumber inspirasi dan pelecut semangat bagi masyarakat Indonesia untuk bisa memproduksi film sendiri tanpa adanya bantuan asing. Yang kemudian kita semua tahu bahwa tepat di tanggal 30 Maret 1950, menjadi hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa atau Long March of Siliwangi yang dibesut oleh Usmar Ismail.

Ya, Usmar Ismail menjadi sutradara pertama asal Indonesia yang berhasil menciptakan film lokal pertama yang memiliki ciri dan semangat Indonesia yang sangat kental. Dan tanggal ini juga lah yang akhirnya ditetapkan sebagai hari film nasional di Indonesia.

sumber: plukme.com
sumber: plukme.com
Setelahnya pun kita semua mengetahui bahwa di era 1950-1970-an, Usmar Ismail menjadi sutradara Indonesia terproduktif yang mampu menciptakan karya-karya yang tidak hanya bagus secara cerita, namun juga kualitasnya diakui oleh khalayak internasional lewat berbagai filmnya yang ditayangkan di berbagai festival film dunia seperti Canness Film Festival,Hong Kong Film Festival dan Vennice Film Festival.

Sebut saja karya-karyanya seperti  Tamu Agung yang merupakan komedi satir berisikan kritik cerdas kepada pemerintahan, Lewat Djam Malam yang berkisah tentang mantan tentara yang berjuang melawan korupsi, Tiga Dara yang merupakan drama musikal yang terinspirasi film Hollywood tahun 1936 berjudul Three Smart Girls, dan juga Anak Perawan di Sarang Penyamun yang merupakan adaptasi novel karya Sutan Takdir Alisjahbana,yang kemunculannya juga sempat menjadi polemik karena situasi politik pada saat itu.

Periode Keemasan Perfilman Indonesia

sumber: amazon.com
sumber: amazon.com
Periode 1980-1990-an kemudian menjadi zaman keemasan film Indonesia. Meskipun didominasi film berbudget rendah, faktanya justru di tahun-tahun tersebut lah film-film Indonesia dikenal lebih luas tidak hanya di dalam negeri saja,namun juga di luar negeri. Sebut saja film-film seperti Lady Terminator, Pengabdi Setan dan Final Score telah melanglang buana ke berbagai negara dan sukses menjadi cult film di beberapa negara.

Di dalam negeri pun film-film seperti Catatan si Boydan Lupussukses menjadi ikon pop culture di Indonesia. Dari mulai gaya berpakaian,musik, potongan rambut, sampai gaya hidup anak-anak muda jaman itu pun turut dipengaruhi oleh karakter seperti Boy dan Lupus.

Jangan lupakan juga deretan film laga kolosal seperti Jaka Sembung dan Si Buta Dari Gua Hantu dan deretan film komedi seperti Warkop, Ateng&Iskak sampai Benyamin.S juga turut membangkitkan budaya menonton masyarakat Indonesia saat itu.

Restorasi Film

Namun saat ini, generasi muda atau generasi milenial sangat jarang yang memiliki ketertarikan untuk menyaksikan film klasik nasional. Kurangnya channel distribusi film-film lawas tersebut serta kualitas gambar yang kurang baik juga mempengaruhi minat generasi muda saat ini untuk menyaksikan film-film klasik tersebut.

Hal ini sangat wajar, mengingat saat ini generasi milenial lebih banyak disuguhkan oleh berbagai film Hollywood berteknologi tinggi yang tentu saja memiliki visual dan cerita yang jauh lebih kaya dan menarik. 

Film Indonesia saat ini pun sudah banyak yang memiliki kualitas visual dan cerita yang sangat baik, bahkan beberapa di antaranya memiliki kualitas yang setara dengan film-film Hollywood.

Hal tersebut semakin menambah keengganan generasi muda saat ini untuk menyaksikan kembali film-film klasik yang dianggap "kalah kualitas" dengan film produksi jaman sekarang. Melihat gambar filmnya saja sudah buruk dan banyak "semut", bagaimana mungkin betah menonton keseluruhan film?

Untuk itulah, proses restorasi film-film klasik nasional sangatlah dibutuhkan guna menyelamatkan juga menjaga kualitas film-film yang telah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia ini, pun hal ini juga berguna untuk menumbuhkan minat generasi muda dalam menyaksikan film-film klasik tersebut.

Meskipun memakan biaya yang cukup besar (konon Tiga Dara menghabiskan biaya restorasi hingga 3 Milyar rupiah), juga sulitnya proses restorasi karena membutuhkan master film seluloid yang rentan rusak.

Namun dengan kualitas gambar yang lebih jernih bahkan bisa di reproduksi sampai dengan resolusi 4K, tentunya hal ini diharapkan akan menambah minat generasi muda untuk menonton kembali film-film yang pernah berjaya di masa lalu tersebut.

Pentingnya Restorasi Film bagi Generasi Milenial

Tidak dipungkiri bahwa generasi milenial merupakan generasi penerus perfilman Indonesia di masa depan. Di tangan merekalah kelak akan muncul berbagai film Indonesia yang memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari saat ini.

Untuk itulah, pengenalan dan pengetahuan mereka akan film-film klasik sangat dibutuhkan agar semakin paham akan kekayaan warisan budaya Indonesia dalam bentuk film tersebut. 

Juga menjadi sumber sejarah yang menarik untuk disimak oleh generasi milenial karena beberapa film menampilkan kondisi Indonesia yang real pada masa itu.

Film klasik pun bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi milenial dalam menciptakan film-film Indonesia yang berkualitas ke depannya dan menjadi pelecut semangat untuk menciptakan karya yang jauh lebih baik dari apa yang dipunya Indonesia pada saat itu.

kapanlagi.com
kapanlagi.com
Film Pengabdi Setan karya Joko Anwar menjadi bukti bahwa film yang di tahun 1980 sangat terkenal itu pun bisa kembali dibuat dengan kualitas yang jauh lebih baik dan relevan dengan kebudayaan yang terbentuk saat ini. 

Jadi tidak tertutup kemungkinan bahwa di masa depan akan muncul berbagai film lawas yang dibangkitkan kembali oleh generasi milenial saat ini, dan itu semua hanya bisa diwujudkan apabila mereka mendapat asupan yang cukup tentang film klasik nasional.

Tapi lebih dari semua itu, restorasi film klasik sejatinya bagaikan merestorasi sejarah itu sendiri. Karena dengan tampilan gambar dan tata suara yang lebih jernih dan jelas, maka penonton akan lebih bisa menangkap pesan yang dimaksud saat film tersebut dibuat puluhan tahun silam.

Sejarah, musik, setting tempat dan kultur dapat ditampilkan dengan baik dan menjadi aset negeri yang sangat berharga bagi generasi mendatang. Dan jika aset tersebut tidak diperkenalkan dengan baik ke generasi milenial, lalu siapa lagi yang akan mampu menjaganya?

Pentingnya Ketersediaan ChannelDistribusi Film

account twitter Flik Channel
account twitter Flik Channel
Apa yang harus dilakukan ketika proses restorasi selesai dilakukan adalah menentukan channel distribusi film agar dapat disaksikan oleh publik. Saat ini tercatat baru Flik Channel yang memang menjadi channel khusus yang menayangkan deretan film lawas yang sudah direstorasi. 

Namun Flik Channel pun memiliki akses yang terbatas karena hanya bisa disaksikan oleh pelanggan tv kabel dalam jaringan IndieHome saja.

Pada media streaming on demand seperti iFlix dan Hooq pun juga menampilkan beberapa film-film klasik Indonesia, namun tidak begitu lengkap karena hanya ada beberapa judul saja.

Format DVD atau Blu-Ray juga tidak menjadi pilihan bagi rumah-rumah produksi dalam mendistribusikan film-film hasil restorasi. Hal ini bisa dimaklumi karena jumlah pembajakan pada kedua fomat fisik tersebut sangat marak terjadi. 

Padahal kolektor DVD dan Blu-Ray original di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, sehingga apabila dirilis collector's edition sudah pasti akan mendapat sambutan yang meriah. Tapi sayangnya hingga saat ini hal tersebut belum terjadi.

Untuk itulah, upaya mengembalikan film klasik yang telah direstorasi ke dalam bioskop perlu dilakukan guna menambah daya jangkau penonton. Dan gelaran Vintage Film Festival yang dimulai dari tanggal 29 Maret di CGV Cinemas ini sejatinya sangat patut diapresiasi. 

Penayangan berbagai film klasik atau vintage yang telah direstorasi tersebut rencananya akan dilakukan sampai akhir tahun ini dengan harga tiket yang jauh lebih murah dari film reguler.

Menarik untuk diikuti apakah ke depannya film-film klasik ini hanya akan ditayangkan selama festival film saja atau memiliki spot khusus untuk ditayangkan di bioskop reguler meskipun dengan jam tayang yang lebih sedikit? 

Karena apabila animo penonton terhadap film klasik bisa hidup kembali, bukan tidak mungkin bahwa film klasik yang direstorasi akan menjadi komoditi baru dalam industri film dan bioskop.

Kesimpulan

Pada akhirnya, geliat restorasi film klasik nasional saat ini sangatlah patut diapresiasi. Terlebih dengan adanya kerjasama dengan channeltv kabel, saluran streaming on demanddan juga salah satu perusahaan bioskop untuk menayangkan kembali film-film hasil restorasi tersebut sangatlah patut diacungi jempol.

Bioskop yang saat ini menjadi tempat yang wajib dikunjungi muda-mudi, juga saluran streaming on demand yang saat ini sedang hype, sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih terhadap pengadaan film-film berkualitas termasuk film-film klasik yang sudah menjadi bagian dari warisan budaya nasional.

Memperkenalkan kepada generasi milenial bahwa Indonesia pernah memiliki, sedang memiliki dan akan terus memiliki aset nasional sarat kultur,sejarah dan pengetahuan dalam bentuk film yang diproduksi puluhan tahun sebelum mereka dilahirkan.

Peran pemerintah pun sejatinya sangat penting demi mewujudkan ini semua. Entah dengan mewajibkan pihak bioskop dan saluran streaming on demand menyediakan spot khusus film klasik yang telah direstorasi atau memfokuskan pengadaan film-film hasil restorasi dalam format digital pada koleksi film di perpusnas misalnya.

Karena dengan kelengkapan sarana audio dan video yang dimiliki perpusnas saat ini, bukan tidak mungkin koleksi film restorasi bisa dimaksimalkan disana bukan?

Terlebih dari itu semua, kiranya geliat restorasi ini akan terus menginspirasi dan menumbuhkan semangat baru bagi generasi milenial dalam memproduksi film-film yang lebih berkualitas di masa yang akan datang. Semakin juga menumbuhkan rasa nasionalisme lewat pesan yang disampaikan pada deretan film klasik tersebut.

Selamat hari film nasional !!

Salam kompasiana


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun