[caption id="attachment_361718" align="aligncenter" width="528" caption="smpalestine.files.wordpress.com"][/caption]
Kenyataan bahwa para pelaku teroris juga manusia yang ingin memiliki keturunan menimbulkan polemik tersendiri bagi buah hati yang dilahirkannya. Munculnya (kemungkinan) stigma negatif yang diberikan oleh orang lain atau lingkungan sosial, dikhawatirkan akan mengganggu tumbuh kepribadian dan perilaku anak-anak.
Beberapa nama pelaku teror kelas kakap seperti Noordin M Top, Ali Imron, Amrozi, dan Imam Samudra, diketahui memiliki keturunan rata-rata lebih dari dua anak. Ketika akhirnya mereka dieksekusi mati, mau tidak mau keluarganya pun ikut terekspos, termasuk anak-anaknya. Ketika pada akhirnya masyarakat memberikan stiga negatif kepada keluarga para pelaku teror, maka secara tidak langsung hal tersebut berisiko meruntuhkan rasa percaya dirinya.
Utamanya bagi anak-anak, stigma negatif mampu membuat mereka dihantui rasa bersalah yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya. Dampak ekstrimnya, anak-anak bisa jadi nekat mewujudkan apa yang telah dilabelkan oleh masyarakat kepada mereka. Bisa jadi para anak-anak ini justru menyimpan rasa dendam terhadap masyarakat umum dan secara tidak langsung membentuk niatan dalam dirinya untuk membalas stigma buruk tersebut. Risiko terburuk adalah para anak-anak ini dapat tumbuh menjadi pelanjut aksi teror.
Menangani anak-anak pelaku teroris tidak dapat dilakukan sendirian, dan bahkan negara pun tidak akan mampu mengurusnya jika tidak ada dukungan konkrit dari seluruh masyarakat. Perlu dilakukan pendampingan yang moderat dan intens terhadap para anak-anak ini sehingga mereka pun perlahan dapat dijauhkan dari paham-paham radikal yang dilakukan oleh orang tuanya. Mereka perlu ditanamkan nilai-nilai kehidupan positif dan pengetahuan tegas bahwa terorisme adalah kejahatan yang tidak pantas dicontoh.
Di sisi lain, perlu ada edukasi serupa terhadap masyarakat. Pemahaman yang benar mengenai nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian yang benar prtlu ditanamkan sejak dini. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tegas bahwa mereka tidak berhak untuk menghakimi orang lain apalagi memberikan stigma negatif, khususnya terhadap anak-anak pelaku teror yang tidak tahu apa-apa mengenai kesalahan orang tuanya.
Kekerasan dalam berbagai wujud tidak pernah menyelesaikan persoalan, kecuali justru akan melahirkan bentuk kekerasan baru. Anak-anak harus diberikan bekal pemahaman nilai dasar kemanusiaan sejak dini, agar mata rantai kekerasa terputus. Memberikan stigma negatif kepada anak juga merupakan bentuk kekerasan, dan oleh karena itu kita pun harus menghentikannya segera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H