Kita pernah mengalami dua kali pemilihan presiden dengan sangat bising. Bising di sini bukan berarti banyaknya suara melalui pengeras suara, namun bising di media sosial, media dan aneka podcast.
Pada pemilu 2009, dimana media sosial mulai digunakan namun tidak terlalu dominan. Dua Pilpres yang saya maksud adalah Pilpres 2014 dan pilpres 2019. Dua pilpres itu kita terjerembab pada dua kandidat saling bersaing. Runyamnya, dua pemilu itu memasukkan politik identitas dalam narasi-narasi kampanyenya, dan kemudian diamplifikasikan (disebarkan) oleh para konstituennya.
Mengacu pada politik identitas, maka narasi-narasi itu berisi hal-hal yang menyerang agama dan keyakinan serta etnis untuk menarik para pemilih. Mereka mempersoalkan mayoritas dan minoritas agama dan berusaha mempengaruhi pemilih dengan itu.
Saking kerasnya persaingan untuk menggaet pemilih, para pendukung kandidat itu sering mengeluarkan ujaran kebencian bagi kandidat saingannya. Mereka tak segan mennjuluki , cebong bagi pendukung kandidat A dan kampret bagi pendukung kandidat B. Dampaknya masyarakat makin terpolar , terpisah bahkan beberapa wilayah terpecah. Polarisasi ini ditengarai akibat dari kebutuhan dari strategi kampanye yang makin tajam.
Pilpres 2014 dan 2019 menghadirkan kandidat yang sama yaitu Prabowo dan Joko Widodo (Jokowi). Jokowi memenangkan Pilpres itu dengan margin tipis. Namun Prabowo enggan mengakui kekalahannya dan membawa kasus itu ke sengketa pemilu.
Dua pemilu itu juga penuh dengan hoaks yang disebarkan oleh para pendukung. Pernah ada hoaks bahwa ada beberapa kontainer dari China yang berisi surat suara yang sudah dicoblos. Setelah di cek, ternyata itu hoaks. Penyebar hoaks diproses hukum. Dan beberapa cerita lainnya.
Sebenarnya kita punya dua hal yang menjadi dasar bagi memerangi hal negatif yang menganggu bangsa kita termasuk Hoaks dan ujaran kebencian itu yaitu Pancasila dan agama.
Pancasila yang menjadi dasar negara sesungguhnya mengakomodir semua komponen di Indonesia, baik yang berbeda keyakinan dan etnis. Pancasila disusun oleh Bung Karno berdasar nilai-nilai moral yang ada di sebagian masyarkaat Indonesia. Nilai-nilai moral itu cenderung bersifat ajeq dan berlaku dari waktu ke waktu. Â Sedangkan agama dipastikan mengajarkan damai dan rasa sayang kepada diri sendiri dan sesama manusia.
Keduanya dapat digunakan sebagai alat bagi warga untuk perangi hoaks dan ujaran kebencian. Jika itu bisa dimaksimalkan kita bisa kembali berkomitmen terhadap bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H