Mohon tunggu...
yona listiana
yona listiana Mohon Tunggu... Desainer - penjahit

suka mancing

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cerdaslah dalam Memilih

26 Juni 2018   07:03 Diperbarui: 26 Juni 2018   08:33 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilkada Jakarta tahun 2016 dan 2017 lalu membuat masyarakat Indonesia belajar dan melihat bagaimana  agama digunakan sebagai kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Padahal sebelumnya, cara meraih kekuasaan dengan cara seperti itu (menggunakan agama)  tidak pernah dilakukan.

Akibatnya menjadi panjang yaitu masyarakat Jakarta terbelah , satu berpedoman pada mantan calon A dan mantan calon B. Keterbelahan atau lebih banyak kita sebut dengan polarisasi itu berlangsung hingga sekarang. Dampak itu meluas tidak saja di Jakarta tapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh SARA menjadi ikut-ikutan.

SARA yang sebelumnya tabu dipertentangkan saat itu mulai diperbincangkan secara terbuka. Malahan banyak pihak yang tak malu-malu lagi untuk berucap kasar kepada pihak lain yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka saling serang dan memaki tanpa ingat toleransi dan ingat persatuan dan kesatuan lagi. Mereka teguh memperjuangkan hal itu karena percaya bahwa keyakinanlah yang paling benar.

Akibatnya runyam. Banyak tali silaturahmi yang putus, baik persaudaraan maupun pertemanan. Satu saudara juga putus karena perbedaan itu. Satu kelompok pertemanan juga terpecah karena perbedaan itu. Mereka saling mengolok bahkan dengan kata-kata kasar, bahkan banyak yang memutuskan tali persaudaraan atau pertemanan.

Tentunya ini tidak bijaksana karena agama yang menjadi peluru bagi pilkada adalah hal yang bersifat personal. Secara tidak bijaksana juga sang konsultan politik memilih agama sebagai alat untuk meraih kemenangan di Pilkada, tanpa sadar bahwa itu tindakan yang menyesatkan .

Kini 171 daerah akan melakukan Pilkada dan tentu jangan sampai Pilkada itu mempengaruhi hubungan kita dengan teman maupun kerabat. Kita harus ingat bahwa Pilkada hanya satu intrumen politik untuk memilih pemimpin kita selama lima tahun dan tidak selam-lamanya. Sebaliknya kita berteman atau berkerabat dengan orang atau saudara itu untuk jangka panjang.

Hal kedua adalah dalam memilih paslon dalam Pilkada haruslah dengan hati jernih dan yakin bahwa paslon itu akan membawa dampak bagi kemajuan daerah itu. Karena itu pilihlah paslon dengan cermat dan cerdas. Dengan begitu kita tak akan menyia-nyiakan kesempatan memilih pemimpin untuk kemajuan kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun