Banyak orang menganggap bahwa zakat yang diberikan di ujung bulan Ramadan adalah 'hal yang biasa' yang  sebagian rezekiyang disisihkan untuk tidak mampu. Jumlahnyapun dinilai tidak seberapa dibanding rezeki yang sudah diterima oleh pemberi zakat itu. Oleh karena itu meski dihitung dengan hitungan tertentu  , jumlahnya akan dianggapsebelah mata oleh pemberi zakat apalagi jika mereka memiliki banyak harta.Â
Rakyat yang miskin dan kemiskinan yang banyak ditemui di negeri kita ini sering dianggap suratan takdir. Apalagi di Jakarta dan di kota --kota besar lainnya yang sering menyimpan kemiskinan itu di lampu-lmpu gemerlap dan hutan beton yang menjulang.Â
Di kota besar sering kita dapati masyarakat kelas menengah ke atas yang terkesan serakah untuk mendulang pundi-pundi uang kota metropolitan itu. Kekayaan mereka seringkali didapat  karena kekayaan structural, artinya kekayaan yang didapatkan karena jabatan atau rejeki yang teramat besar dan diwariskan ke anak cucunya. Di sisi lain,  di kota itu terserak para gelandangan dan kaum miskin yang sulit mendapatkan makanan di ibukota yang kejam itu. Kemiskinan di kota besar sering karena structural juga yaitu karena orang tuanya miskin sehingga akses kreativitas dan pendidikannya terbelenggu (meski tak semuanya begitu) , sehngga anak-anaknya juga menjadi miskin.Â
Qardhawi dalam kitab Ash-Shodaqoh tidak setuju dengan anggapan banyak orang yang mengangap kemiskinan adalah 'nasib yang sudah ditakdirkan dari atas' sehingga  jia dibantu seberapapun juga, tak akan bisa cukup membantu para gelandangan dan tuna akses itu. Orang-orang kaya itu menganggap terlalu banyak yang harus ditolong sehingga membantunya atau zakat yang diberikan sekadarnya saja.
Padahal jika mau, zakat yang haus diberikan oleh orang-orang kaya itu bisa mengentaskan sebagian rakyat miskin dari kemiskinan. Dengan cara tertentu mereka yang miskin bisa diberi akses atau modal pemberdayaan, jadi tidak sekadar asal menolong. Dengan cara ini  orang-orang miskin ini bisa m andiri dan justru bisa menjadi calon penderma.
 Beberapa cerita masa lalu ada bukti bahwa zakat amat ampuh untuk memberdayakan si miskin sehingga bisa mengubah nasibnya. Kita bisa membacanya di beberaa hikayat terutama di masa Khulafa Rasyidin dan masa Umar bin Abdul Aziz dengan Baitul Mal. Kesuksesan zakat yang bisa membat si miskin berdaya itu terutama karena managementnya. Institusi pengelolanya amat cerdas engelola sehingga zakat tak sekadar untuk makan esok, tetapi juga sebagai basis penting masa depan si miskin.
Mungkin ini bisa menjadi pekerjaan rumah (PR) kita di Ramadan mendatang, sehingga zakat tak sekadar ada dan menanggulangi hal pendek, tapi juga menjadi dasar bagi pemberdayaan si penerima zakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H