Penduduk terbanyak atau mayritas di Tilong adalah dari suku Timor. Ada yang warga asli karena lahir besar di sana. Tetapi ada juga suku Timor yang pendatang. Ada yang berasal dari TTS, TTU, Belu, Amarasi dan beberapa daerah linnya.
Tetapi semakin hari kian ada perubahan signifikan. Penduduk Tilong tidak lagi hanya dimonopoli oleh masyarakatTimor. Sudah banyak pula orang luar pulau Timor yang tinggal di sana. Malah ada juga orang dari luar NTT yang menjadi penduduk Tilong.
Memang bukan hanya Tilong yang penduduknya beragam latar belakang. Di seluruh Indonesia, penduduknya sudah heterogen. Artinya sudah sulit memilah memisah mana penduduk asli mana yang pendatang. Atau orang bilang pribumi dan non pribumi.
Sebab semua orang Indonesia berhak tinggal di mana saja di seluruh wilayah NKRI. Maka rasanya sudah tidak pada tempatnya dan waktunya untuk mengenakan istilah itu pada seseorang. Istilah pribumi non pribumi sudah saatnya dihapus dari perbendaharan kata kita. Kata yang selama ini melekat tetap di kepala orang Indonesia.
Sebagai contoh. Ada beberapa anggota masyarakat Indonesia yang berasal dari mancanegara. Mereka tidak lahir besar di Indonesia. Tetapi akhirnya ia memutuskan dan memproklamirkan diri sebagai anak bangsa. Lalu dia berkeluarga dengan orang Indonesia dan melahirkan keturunan Indonesia. Masihkan kita sematkan nonpri padanya?
Atau mungkin saudara-saudara kita yang tidak berkeluarga. Karena mereka adalah para Imam atau rohaniwan yang memang tidak dibolehkan menikah. Walau dari Negara lain, tapi sudah puluhan tahun menjadi orang Indonesia. Dan dalam kesehariannya selalu berkarya untuk Indonesia. Masih pantaskah disebut warga non pribumi?
Karena itu, sebaiknya istilah penyekat itu dibuang saja. Sebab ia terkadang menjadi menjadi pemicu pertikaian. Ia menjadi tembok pemisah yang merusak keutuhan bangsa. Menurutku, kalau seseorang sudah tinggal di wilayah NKRI dan memiliki KTP adalah orang Indonesia.
Begitu pun di Tilong. Aku tak ingin mengenakan sebutan itu lagi. Yaitu warga pribumi dan non pribumi atau pendatang. Sebab dengan pemakaian istilah itu, kita menempatkan anak bangsa ke dalam kelas-kelas sebagai warga nomor satu, dua, tiga dan seterusnya.
Pekerjaan atau profesi masyarakat Tilong itu beragam. Ada petani, pegawai negeri maupun swasta. Ada juga pengusaha, aparat kepolisian atau tentara. Mereka semua memberi sumbangsih bagi kemakmuran kampung Tilong. Karena mereka, Tilong maju.
Bila demikian, perlukah mengkotak-kotakkan mereka ke dalam sikap primordialisme? Bukankah lebih baik dan bermartabat bila mereka dibiarkan hidup dalam dunianya demi kemaslahatan Tilong? Sebab mereka semua telah saling bergandengan tangan memajukan Tilong. Mereka semua telah melupakan bahkan memangkasa kesukuannya demi Tilong. Bukankah ini sebuah harmoni yang patut ditiru? Indonesia marilah belajar bermasyarakat dari orang kampung di Tilong!