Malam hari itu adalah Rabu tanggal 28 Oktober 2009. Sehabis transaksi, kami pulang berboncengan seperti biasanya. Barang belanjaan bergelantungan di leher motor sebagaimana yang sudah-sudah. Motor sampai termehek-mehek dibuatnya.
Saat beranjak dari parkiran, Kakak -- demikian kami memanggil Lorrinne -- menyerahkan kunci motor ke Bung -- panggilan Rommy. Ia yang menyetir. Walaupun belum memiliki SIM, tapi ia cukup terampil untuk mengendarai motor. Aku tidak menyetujui tapi tidak juga mencegah atau melarang. Semua mengalir saja.
Rute kembali yang paling sering kami lewati sehabis berbelanja di Panakukang adalah: Jalan Pengayoman -- Jalan Pettarani. Lalu setibanya di pertigaan, pertemuan Jalan Pettarani dan Jalan Sultan Alaudin, kami belok kanan. Kira-kira 30 meter dari situ, belok kiri ke Jalan Manuruki sampai keluar ke jalan Daeng Tata untuk kemudian masuk ke komplek Hartaco Indah.
Tapi malam ini tidak. Kami tidak melalui Jalan Manuruki. Di ujung Jalan Pettarani, aku memberi tanda belok kiri ke arah Jalan Sultan Alaudin yang menuju Sungguminasa. Kemudian dari lampu pengatur lalu lintas atau perempatan Malengkeri, Sungguminasa dan Gowa akan belok kanan masuk  Jalan Daeng Tata.
Memasuki Jalan Daeng Tata, Rommy dan Lorrinne duluan. Mereka melaju di depan, mendahului kami. Ketika aku sampai di jalan masuk kendaraan ke dalam terminal Malengkeri, aku mendengar bunyi benturan yang sangat keras. Jarak jalan masuk ke terminal dan lampu merah hanya sekitar 50 meter.
Belum hilang bunyi itu di telinga, aku melihat samar-samar dua orang tergeletak di aspal. Mereka tergeletak di depan jalan keluar kendaraan dari dalam terminal Malengkeri. Jarak antara jalan masuk dan jalan keluar terminal berkisar 15-20 meter.
Mereka nyaris masuk selokan. Secara reflek aku teriak mengingatkan istriku: "Rommy." Oh, ternyata orang lain. Lega hati kami berdua. Kami melihat mereka yang terjatuh bangun dan merapikan diri dalam keadaan agak sempoyongan.
Kira-kira 10-20 meter di depan, aku melihat banyak orang berkerumun di pinggir jalan. Aku dan istriku mulai perlahan. Maksudnya, aku menjalankan motor perlahan sekali dan agak menepi untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ternyata Kakak sedang menangis sambil berjongkok di samping belakang motor. Sementara Bung masih diam di atas motor sembari terus menahan motor dan berat badannya dengan kaki kiri. Sedangkan kaki kanannya dibiarkan menggantung menyandar lemas di sisi kanan motor.
Istriku turun mendekati mereka dan turut pula menangis. Semakin dekat kulihat, aku dapati kaki kanan Bung berdarah di bagian punggungnya (punggung kaki). Darah mengocor seperti air dari talang saat turun hujan. Mesin motor di sebelah kanan tempat kakinya menggantung, penuh darah.
Masyarakat sekitar menggendong Bung ke dalam sebuah apotek di situ. Aku bilang Kakak agar tenang, kuasai diri dan berdoa. Selanjutnya kubilang padanya agar mengambil alih kemudi. Dia yang menyetir motor maksudku. Â