Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pepaya Tetangga

24 Juli 2020   06:54 Diperbarui: 24 Juli 2020   07:01 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Aku baru tiba di rumah. Baru pulang dari sekolah. Pakaian seragam masih melekat di badan. Hanya sepatu yang sudah kucopot. Aku masih berkeringat. Maklum, jarak tempuh antara rumah dan sekolah lumayan jauh. Kurang lebih tujuh kilometer. Ditambah pula, aku menempuhnya hanya dengan berjalan kaki.

Rasa penat dan lapar telah menyengat menjalar sampai ke ubun-ubun. Tapi aku bermaksud mengaso terlebih dahulu baru makan. Aku sengaja menetralisir rasa capek dengan membiarkan keringat kering.

Belum juga menguap peluh di badan, tiba-tiba aku dipanggil.

"Olis!" Terdengar nama kecilku dipanggil.

"Iya," jawabku cepat.

"Tolong ambilkan papaya yang masih modok (ranum) itu." Perintah kakakku menunjuk ke arah pohon pepaya tetangga. Jaraknya kira-kira limabelas meter dari rumah kami. Dengan singkat aku balas. "Sebentar. Makan dulu."

Hujan mulai gerimis. Makin lama tetesannya semakin banyak. Aku belum  beranjak dari tempatku menyandarkan punggung. Kepalaku pusing. Pusing memikirkan cara pengambilannya.

Pertama, itu punya orang lain. Punya tetangga tepatnya. Bukan punya sendiri. Berarti harus permisi dan meminta dengan segala hormat. Aku segan melakukannya karena belum pernah melakukan hal itu. Dan aku tidak akrab dengan pemiliknya.

Kedua, pohonnya tinggi sekali dan ceking. Aku ngeri patah. Ketiga, hujan. Licin. Aku ciut. Keempat, aku belum makan. Perut keroncongan. Badan gemetaran. Lemas. Tak ada tenaga.

Aku sementara berpikir bagaimana dan apa yang harus kulakukan terlebih dahulu. Makan atau minta papaya modok. Ketika masih merenung hening, kakak menyuruh untuk yang kedua kalinya.

"Iya. Sebentar," jawabku sambil melangkah menuju pintu depan siap keluar. Hujan makin menjadi. Saat berada di pintu, keempat kendala tadi memenuhi kepala. Silih berganti menyerang logikaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun