Aku ingat sering berjengit jijik ketika melewati lelaki tua itu. Dia sering duduk di tepi jalan di pagi hari sewaktu aku akan berangkat sekolah. Kaki dan tangannya dibalut perban, tampak bercak warna merah di kain berwarna putih itu. Dan aku selalu pura-pura tak melihatnya karena tampak menakutkan waktu itu. Luka yang tak tertutupi oleh perban terkadang dikerumuni oleh lalat. Yang paling menakutkan adalah ketika aku sadari tangannya sudah tidak ada. Aku tak ingat ketika kelas berapa waktu lelaki tua itu sudah tak memiliki tangan.
Pernah aku bertanya pada kakek tentang dirinya. Dan kakek hanya memperingatkan untuk tidak terlalu dekat dengan lelaki itu. Kata kakek pasti itu penyakit itu, yang menular itu. Tentu saja nalarku masih belum sampai dengan maksud yang ingin kakek sampaikan padaku. Aku tak paham dengan maksud penyakit itu, yang menular itu. Hanya saja, aku seringkali tak enak hati dengan perlakuan kami (aku dan kawan-kawan) padanya. Aku yakin, lelaki itu pasti sedih karena kami seolah menganggapnya hal yang menjijikkan. Sekarang aku jadi menduga-duga tentang kejadian waktu itu. Sepertinya kakek ingin menyebutkan nama penyakit kusta waktu itu padaku.
Kusta Dianggap Penyakit Kutukan
Tak ada manusia yang ingin sakit. Demikian juga dengan para penderita kusta. Apalagi penyakit ini dianggap kutukan oleh masyarakat. Sebagian besar dari mereka adalah masyarakat pelosok desa yang kurang mendapat edukasi. Kusta dianggap menakutkan karena penyakit yang menyerang saraf dan kulit ini dapat mengakibatkan lepasnya bagian tubuh manusia. Memang tampak mengerikan, kan? Akibatnya para penderita kusta juga menderita psikisnya karena dikucilkan. Masih banyak masyarakat yang menganggap kusta penyakit yang mudah menular.
Mirisnya, para penderita kusta banyak yang menutup diri karena sering diintimidasi. Yang menyedihkan, justru keluarga yang paling sering melakukan diskriminasi terhadap mereka. Karena merasa tidak mendapat dukungan dari siapa pun, para penderita kusta jadi tidak ada motivasi untuk sembuh dan berobat. Kenyataannya mereka memang sering di-bully di keluarga, lingkungan sosial, serta sulit mendapat pekerjaan. Pada akhirnya, mereka menganggap dirinya kutukan dan orang tak berguna.
Hati Malaikat Ratna Indah Kurniawati
Ratna, seorang perawat muda di Puskesmas Grati Pasuruan tergerak hatinya untuk membela para penderita kusta. Ratna menyadari benar apabila diskriminasi pada penderita kusta akibat edukasi yang belum merata. Masih banyak orang yang belum paham apabila penularan kusta itu perlu waktu yang lama. Perempuan kelahiran  23 April 1980 ini pun blusukan ke kampung-kampung mencari penderita kusta yang mengucilkan atau dikucilkan.Â
Pengabdian Ratna dimulai pada tahun 2008 ketika diangkat sebagai ketua Kelompok Perawatan Diri (KPD) di Grati. Data Kemkes yang menyatakan Indonesia berada di urutan 3 penyumbang kasus kusta membuat perawat ini makin termotivasi untuk mengedukasi masyarakat.
Strategi Ratna Mengedukasi Masyarakat
Â
Ratna tak hanya mengedukasi secara teori, tapi juga melakukan berbagai hal untuk menyentuh sisi emosi. Selain memberikan bantuan pengobatan dan pengetahuan, Ratna juga melakukan pendekatan sosial, seperti melalui pengajian dan pertemuan. Saat di KPD ada pertemuan ia tak segan makan bersama dengan penderita kusta. Hal ini ternyata mendapat simpati dari masyarakat. Mereka jadi turut mau bergabung dan percaya jika penularan kusta itu tidak instan.
Tidak berhenti di situ, Ratna juga membimbing para penderita kusta agar dapat hidup mandiri. Ia memberikan pelatihan dan motivasi agar mereka memiliki usaha sendiri. Seperti halnya Pak Amat yang menderita kusta tahun 1997. Pak Amat kehilangan jemari akibat penyakit yang dideritanya. Berkat bimbingan Ratna, Pak Amat jadi punya usaha sendiri. Usaha yang dimilikinya ini bisa menghasilkan berpuluh kilo jangkrik setiap bulannya.
Berkat kegigihan serta pengabdiannya, Ratna menerima penghargaan Astra SATU Indonesia Awards 2011. Ratna juga berhasil mengadakan penyuluhan tentang kusta di berbagai tempat, seperti balai desa, sekolah, dan juga pondok pesantren.
Stigma masyarakat terhadap kusta memang jadi pekerjaan rumah. Dan tanggung jawab ini bukan untuk ditanggung oleh salah satu pihak saja. Butuh kerjasama dan kolaborasi dari berbagai elemen seperti masyarakat, pemerintah, serta komunitas agar edukasi tentang kusta dapat merata. Bila dilakukan bersama pasti bisa. Karena para penderita kusta dan OYPMK juga berhak mendapat perlakukan yang sama. Berhak mendapatkan pekerjaan pula. Semangat untuk hari ini dan masa depan. Semangat demi Indonesia yang lebih maju dan terdepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H