Membongkar Konspirasi Teknologi: Antara Persepsi, Ketakutan, dan Fakta
Perkembangan teknologi informasi (TI) yang pesat dalam beberapa dekade terakhir telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari cara kita berkomunikasi hingga bagaimana bisnis dijalankan. Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, teknologi juga menjadi sasaran teori konspirasi. Dalam sebuah studi yang diterbitkan oleh Simon Trang, Tobias Kraemer, Manuel Trenz, dan Welf H. Weiger pada tahun 2024, berjudul Deeper Down the Rabbit Hole: How Technology Conspiracy Beliefs Emerge and Foster a Conspiracy Mindset, ditemukan bahwa keyakinan konspirasi teknologi bukanlah fenomena sepele. Studi ini menunjukkan bagaimana keyakinan terhadap teori konspirasi teknologi dapat memperkuat mindset konspirasi yang lebih luas, menciptakan siklus berbahaya yang sulit diputus.
Sebagai contoh, survei yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa 67% dari responden menyadari adanya teori bahwa perangkat Amazon Echo digunakan untuk memata-matai pengguna, dan 36% dari mereka meyakini kebenaran teori ini. Tidak hanya itu, sekitar 50% responden telah mendengar teori konspirasi bahwa mesin pencari Google memanipulasi hasil pencarian untuk mendukung pandangan politik tertentu, dengan 25% yang percaya akan hal ini. Data ini mencerminkan bagaimana persepsi negatif terhadap teknologi dapat menyebar dengan cepat, bahkan di kalangan masyarakat yang terpapar TI secara intensif.
Fenomena ini penting untuk dikaji lebih lanjut, mengingat implikasinya yang luas bagi industri teknologi dan kebijakan publik. Mengapa teknologi, yang seharusnya membantu mempermudah kehidupan, justru sering kali menjadi objek kecurigaan dan ketakutan? Bagaimana kita bisa menghentikan siklus konspirasi ini?
***
Dalam studi yang dilakukan oleh Trang et al. (2024), model TECONMIND dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana keyakinan konspirasi teknologi terbentuk dan memperkuat mindset konspirasi. Model ini menunjukkan bahwa persepsi individu terhadap karakteristik teknologi, seperti ekspektasi kinerja, kemudahan penggunaan, dan risiko yang dirasakan, memainkan peran penting dalam pembentukan keyakinan konspirasi. Ketika teknologi dianggap sulit digunakan atau tidak memenuhi ekspektasi, pengguna lebih cenderung mencari penjelasan alternatif yang sering kali berupa teori konspirasi. Misalnya, penggunaan aplikasi pelacak COVID-19 di Jerman menjadi subjek penelitian lapangan dalam studi ini. Studi tersebut menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap aplikasi tersebut, terutama terkait keamanan dan privasi, dapat memicu keyakinan bahwa aplikasi tersebut digunakan untuk pengawasan massal.
Hal ini bukanlah fenomena baru. Sejak tahun 1999, teknologi telah menjadi sasaran teori konspirasi, mulai dari dugaan bahwa Microsoft Windows memiliki backdoor yang dapat diakses pemerintah, hingga kekhawatiran bahwa aplikasi pelacakan COVID-19 digunakan untuk memata-matai populasi secara global. Dalam survei yang dilakukan pada 1.007 partisipan di AS, sebanyak 36% dari responden percaya bahwa Amazon Echo menguping percakapan mereka bahkan saat perangkat dimatikan. Hal ini mencerminkan betapa mendalamnya kecurigaan terhadap teknologi modern.
Namun, yang lebih menarik dari penelitian ini adalah bagaimana keyakinan konspirasi teknologi dapat memperkuat mindset konspirasi yang lebih luas. Ketika seseorang mulai percaya pada satu teori konspirasi teknologi, mereka cenderung mengembangkan pola pikir yang lebih curiga terhadap semua teknologi. Model TECONMIND menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara keyakinan konspirasi teknologi dan mindset konspirasi. Artinya, semakin kuat seseorang percaya pada satu teori konspirasi, semakin besar kemungkinan mereka akan mempercayai teori konspirasi lainnya.
Kontribusi penting dari studi ini adalah penekanan pada persepsi masyarakat terhadap penerbit teknologi, seperti perusahaan atau pemerintah. Trang et al. (2024) menemukan bahwa teknologi yang dikeluarkan oleh entitas yang dianggap memiliki kekuatan besar dan niat jahat lebih rentan menjadi objek keyakinan konspirasi. Sebagai contoh, sebanyak 25% dari responden dalam survei AS percaya bahwa Google secara sengaja memanipulasi hasil pencariannya untuk mendukung agenda politik tertentu. Hal ini memperkuat temuan bahwa karakteristik penerbit teknologi, seperti persepsi terhadap niat jahat dan kekuasaan mereka, secara langsung memengaruhi pembentukan keyakinan konspirasi teknologi.
Dengan adanya penelitian ini, kita melihat bagaimana persepsi dan rasa takut terhadap teknologi, terutama dalam konteks keamanan data dan privasi, dapat memperkuat siklus konspirasi yang sulit diputus.
***