HUBUNGAN PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK
Setiap manusia tentu mengalami perkembangan psikososial. Perkembangan psikososial yang dialami oleh peserta didik memiliki hubungan terhadap motivasi belajar peserta didik. Terdapat berbagai tantangan yang akan terjadi selama proses perkembangan psikososial peserta didik. Memahami hubungan perkembangan psikososial terhadap motivasi belajar peserta didik dapat membantu para tenaga pendidik dan orang tua untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut dengan cara yang tepat.
Umumnya, perkembangan dipahami sebagai perihal yang berkembang atau berkembangnya suatu hal. Salah satu ahli, yaitu Nagel (1957) berpendapat bahwa perkembangan didefinisikan sebagai struktur yang terorganisasikan dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu dan jika terjadi perubahan struktur baik dalam organisasi maupun dalam bentuk akan mengakibatkan perubahan fungsi. Selaras dengan pendapat sebelumnya, Schneira (1957) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan yang dialami oleh organisme berupa progresif dalam organisasi yang dapat terlihat dari sistem fungsional dan adaptif sepanjang hidupnya. Lebih spesifik, Boring (dalam Octavia, 2020) mengatakan bahwa perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang mengarah pada aspek psikis yang terjadi akibat adanya pengaruh yang mengenai kehidupan organisme.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkembangan merupakan suatu proses perubahan yang dialami oleh organisme menuju pematangan pada aspek psikisnya. Secara umum, proses dari perkembangan bersifat progresif dan terorganisasi. Proses pematangan fungsi-fungsi tertentu pada organisme menjadikan peningkatan kualitas organ-organ ke arah yang lebih terorganisasi dan terspesialisasi. Perkembangan akan terus berlangsung seumur hidup dan proses yang telah berlalu tidak dapat terulang kembali.
Secara umum, psikososial didefinisikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek psikis dan sosial. Istilah psikososial berasal dari kata psiko yang mengarah pada aspek psikologis, sedangkan kata sosial mengarah pada hubungan antar manusia. Berdasarkan pendapat Takarina (2016), psikososial merupakan perubahan yang dialami oleh individu, baik bersifat psikologis maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. Selaras dengan pendapat tersebut, Lismanda (2017) mengemukakan bahwa psikososial didefinisikan sebagai penggambaran dari hubungan antara situasi sosial seseorang yang berkaitan dengan kondisi mental dan emosialnya.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa psikososial merupakan proses perubahan psikis dan sosial yang dialami oleh individu. Proses perubahan psikis individu mengarah pada aspek kejiwaan, kondisi kesehatan mental dan kestabilan emosinya. Sedangkan perubahan sosial mengarah pada hubungan eksternal individu terhadap lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Perubahan-perubahan tersebut saling berkaitan sehingga memiliki pengaruh timbal balik.
Ada sebuah cerita yang dikemukakan oleh Erikson, pengemuka teori psikososial. Cerita tersebut berupa kasus Anna, seorang anak berusia 4 tahun yang memiliki seorang ibu dengan gangguan psikososial, yaitu kecemasan yang berlebih. Hal tersebut akhirnya mempengaruhi psikis Anna, ia mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Satu saat ia akan menjadi sangat manja, pada saat yang lain ia akan menjadi serius, dan disaat-saat berikutnya ia bisa menjadi kekanak-kanakan. Erikson menyatakan bahwa kasus tersebut disebabkan oleh kecemasan yang dialami oleh ibunya sehingga Anna tidak dapat mengeksplorasi modalitas secara maksimal. Dari cerita tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita perlu memahami perkembangan psikososial, baik untuk diri sendiri ataupun orang lain.
Perkembangan psikososial merupakan perkembangan sosial yang dialami oleh individu ditinjau dari sudut pandang psikologi. Teori psikososial ini awalnya dikemukakan oleh Erik Homburger Erikson. Sebagai ahli dibidang psikologi, Erikson (dalam Sit Masganti, 2017) berpandangan bahwa motivasi utama perilaku manusia adalah dorongan sosial dan afiliasi dengan orang lain. Berdasarkan pandangan tersebut, perkembangan psikososial dapat dipahami sebagai proses berkembangnya mental dan sosial individu. Pengalaman-pengalaman sosial yang dialami oleh individu mempunyai pengaruh dalam proses perkembangan psikisnya.
Terdapat delapan tahapan perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson. Pertama, percaya (trust) versus tidak percaya (mistrust) yang terjadi pada periode usia 0-1 tahun. Kedua, kemandirian (autonomy) versus malu dan ragu (shame and doubt) yang terjadi pada periode usia 1-3 tahun. Ketiga, inisiatif (inisiative) versus rasa bersalah (guilt) yang terjadi pada periode 3-6 tahun. Keempat, kerja keras (industry) versus rasa rendah hati (inferiority) yang terjadi pada periode usia 6-11 tahun. Kelima, identitas (identity) versus kebingungan (role confusion) yang terjadi pada usia remaja. Keenam, keintiman (intimacy) versus keterasingan (isolation) yang terjadi pada usia dewasa awal. Ketujuh, generativitas (generativity) versus stagnasi (stagnation) yang terjadi pada usia dewasa madya. Kedelapan, integrasi (ego integrity) versus keputusan (despair) yang terjadi pada usia dewasa akhir.
Tahapan-tahapan perkembangan tersebut harus terjadi secara terstruktur dan terorganisasi sehingga perkembangan psikososial individu dapat berjalan dengan maksimal. Jika ada salah satu tahap yang terlewat, maka proses perkembangan psikososial individu tersebut dapat terganggu. Hal-hal seperti itulah yang memunculkan adanya gangguan-gangguan perkembangan psikososial. Berikut ciri-ciri gangguan perkembangan psikososial menurut Riordan dan Singhal (2018) (dalam Rusman, dkk., 2017), yaitu mengalami kecemasan yang berlebih, mengalami depresi yang tinggi, suka berhalusinasi yang tidak rasional, pola tidur dan pola makan yang tidak normal, mengonsumsi obat untuk kesenangan, melantur atau berbicara tidak jelas, sering melamun, muncul pikiran untuk mengakhiri hidup, menarik diri atau mengasingkan diri, serta marah berlebihan.
Jika dilihat dari ciri-ciri gangguan perkembangan psikososial tersebut, dapat dibayangkan bahwa peserta didik yang mengalami hal tersebut akan kesulitan mengikuti kegiatan pembelajaran secara maksimal. Salah satu contohnya, menarik diri atau mengasingkan diri akan menghambat proses kolaborasi peserta didik dengan teman-teman sebayanya yang lain. Mengalami kecemasan yang berlebih dan marah yang berlebih juga akan menghambat proses hubungan sosial peserta didik dengan teman-temannya karena sikap yang membuat orang lain tidak nyaman atau risih. Selanjutnya, peserta didik yang mengalami gangguan tersebut tidak dapat memenuhi tahapan-tahapan perkembangan psikososialnya dengan baik dan terstruktur. Bahkan, dapat sampai pada tahap hilangnya motivasi belajar atau tidak ingin bersekolah.