Malam minggu saya dan hallet (batak: pacar) saya berjalan-jalan menikamti atmosfir Yogyakarta di alun-alun selatan. Malam minggu, waktu yang seharusnya dapat dinikmati bersama dengan kekasih.
Tapi sebelumnya, kami not in a good mood. Kami sempat bersilat lidah akan sesuatu hal. Tapi malam itu kami berusaha bertemu karena rindu dan ingin sekali bersenang-senang, meninggalkan masalah kami. Tapi, mungkin karena masalah yang belum tuntasa itu, mood kami seakan tidak stabil. Saya mudah untuk merajuk, begitu pula dia. Di atas roda dua, kami hanya diam membisu. Mengitari daerah selatan kota Yogyakarta, kami hanya menggunakan mata kami untuk melihat, tapi tidak sedikitpun berbicara. Rasanya saat itu lebih baik pulang saja. Emosi sudah sampai di ubun-ubun kepala. Tapi sampailah kami di Alun-alun selatan, dan hallet saya berhenti di pinggri jalan, tepat di depan sebuah warung. Duduk dan memesan itu yag dia lakukan. Saya hanya diam, memalingkan muka dan tidak memesan. Dengan sabarnya hallet saya menanyakan saya ingin memesan apa. Saya hanya menggelengkan kepala tanda tidak memesan apapun(dengan tetap memalingkan muka dari wajahnya).
Di alun-alun selatan banyak sekali pengamen. Tak sedikit pengamen yang mampir di warung tempat kami singgah. Sampai seorang bapak paruh baya datang, bernyanyi dengan gitar kecil nya di dekat kami.
”Mau marah silahkan
Mau diam silahkan
Asal jangan kau putuskan cintakuu…”
Itu penggalan lirik lagu yang ia nyanyikan. Sepertinya ia menciptakan lagu itu sendiri. Sontak seketika saya dan hallet saya yang sedari tadi muka nya cemberut, diam membisu, langsung tersenyum geli dan menahan tawa. Terutama hallet saya, ia begitu girang sampai tertunduk menaha tawa menutupi wajahnya.Hallet saya menghargai bapak itu dan memberi sedikit uang. “Terimakasih” kata bapak itu sambil tersenyum aneh, seperti tau bahwa lagu itu mengena di kami dan misinya berhasil. Setelah bapak itu pergi kami langsung tertawa terbahak-bahak. Hilang sudah kesunyian yang dirasakan diantara kami. Seperti semua nya hilang. Emosi yang di ubun-ubun kepala turun drastis, ringan sekali terasa badan dan pikiran kami. Kami meminta maaf, dan akhirnya bisa membicarakan masalah kami secara baik-baik. “Bapak itu memang malaikat” ujar hallet saya. Mungkin benar, bapak itu adalah malaikat yang Tuhan kirimkan kepada kami ketika kami mulai memakai ego kami masing-masing.
Panjang umur buat bapak! :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H