[caption id="attachment_252515" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption] Rabu malam, 20 Maret 2013, salah satu sudut kota Yogyakarta terlihat ramai dan hidup, seperti hari-hari biasanya. Kawasan Nol Kilometer Jogja, seakan menjadi kawasan yang tidak pernah mati. Banyak orang yang selalu singgah menikmati atmosfir suasana Jogja dari kawasan Nol Kilometer. Tempat ini sudah menjadi sebuah daya tarik wisata yang menarik banyak wisatawan.
Muncul sebuah pertanyaan, mengapa tempat ini bernama Nol Kilometer? Mengapa selalu menjadi tempat yang ramai dikunjungi banyak orang? Tak sedikit orang yang sekedar duduk di pinggir jalan melihat kendaraan yang lalu-lalang, pasangan yang sedang memadu kasih, pedagang, bahkan berkumpulnya sebuah komunitas. Sering juga sebagai tempat untuk menggalang dana. Apa yang membuat Nol Kilometer menjadi begitu spesial?
Nol Kilometer Jogja terletak di area perempatan besar pertemuan Jl. Jenderal Ahmad Yani, Jl. Senopati, Jl. Trikora, dan Jl. Kyai Haji Ahmad Dahlan. Kawasan Nol Kilometer Jogja ini pernah disebut sebagai Simpang Air Mancur oleh masyarakat Jogja, karena sekitar tahun 1970-1980 di tengah perempatan tersebut terdapat air mancur. Air mancur tersebut merupakan titik nol kota Yogyakarta. Namun seiring dengan padatnya lalu lintas, ar mancur tersebut dihilangkan. Selain itu, titik nol Yogyakarta juga merupakan garis lurus imajiner Kraton Yogyakarta – Tugu – Gunung Merapi.
Bangunan tua peninggalan Belanda yang bersejarah mengitari kawasan ini. Benteng Vredeburg, Monumen Serangan 1 Maret, Kantor Pos Indonesia, Bank Indonesia, Bank BNI dan juga Istana Kepresidenan Gedung Agung. Benteng Vredeburg pada jaman dulu merupakan markas tentara pada jaman kolonial Belanda. Benteng ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1760 atas permintaan orang-orang Belanda. Semula nama benteng ini adalah Benteng Rustenburg, yang artinya benteng peristirahatan. Namun tahun 1867 ada gempa yang mengharuskan direnovasi dan sejak saat itu berubah menjadi Benteng Vredeburg yang artinya benteng perdamaian. Kini Benteng Vredeburg dijadikan sebagai sebua museum dengan nama Museum Benteng Vredeburg. Di sebelah Museum Benteng Vredeburg terdapat sebuah monumen, yang memperingati Serangan Umum Satu Maret yang biasa disebut Monumen Serangan Umum Satu Maret.
Di seberang monumen, berdiri kokoh bangunan Kantor Pos Indonesia dan Bank Indonesia. Bangunan dengan desain jaman colonial Belanda menambah rasa seni di kawasan Nol Kilometer. Di seberang lagi juga terdapat bangunan tua yang masih berdiri kokoh, Bank BNI. Di depan Museum Benteng Vredeburg juga terdapat bangunan yang tak kalah sejarahnya. Istana Kepresidenan Gedung Agung yang berdiri gagah menjadi saksi peristiwa penting bagi Indonesia. Gedung ini pernah menjadi tempat kediaman Presiden Ir. Soekarno pada tahun 1946-1949 dikala kota Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Sekarang, Gedung Agung menjadi salah satu Istana Presiden yang berada di luar ibukota Republik Indonesia, Jakarta.
Suasana yang kental dengan aura Jogja begitu terasa. Adanya berbagai macam jenis kain batik yang diabadikan di pinggir jalan, lampu-lampu jalanan khas Jogja, serta tulisan aksara Jawa yang mengisi luasnya trotoar di kawasan Nol Kilometer, yang tidak akan ditemui di kota lain. Seakan memiliki magnet yang kuat, tempat ini mampu membuat orang-orang betah berlama-lama di tempat ini. Keramaian, pesona bangunan bersejarah, dan atmosfir yang kental dengan Jogja mungkin menjadi alasan banyak orang datang ke tempat ini. Keramaian orang-orang yang berada di kawasan tersebut atau hanya sekedar melintas menjadi sebuah peruntungan bagi pedagang kaki lima yang berjualan disana. Mencoba meraup rejeki dari kawasan tersebut. Begitu pula dengan sekelompok orang yang ingin menggalang dana atau melakukan sebuah atraksi. Kawasan ini seperti tempat yang tepat untuk ‘mencuri perhatian’ banyak orang. Kawasan yang dilingkupi berbagai macam bangunan bersejarah membuat tempat ini begitu istimewa, menarik minat para wisatawan dan mendapatkan nuansa romance bagi para kekasih di tengah bisingnya lalu lintas. Bayangkan jika air mancur itu masih ada, akan menambah nuansa yang begitu indah di kawasan tersebut.
Pada malam itu, saya beruntung dapat melihat suatu komunitas berkumpul dan beratraksi. Komunitas skate. Di depan Monumen Serangan Umum Satu Maret mereka melatih kemampuan skate mereka. Orang-orang yang duduk-duduk disekitarnya pun terpana dan menyaksikan permainan mereka. Bahkan ada juga yang memotret gaya-gaya mereka saat bermain skate. “Kawasan Nol Kilometer menjadi suatu tempat yang ideal melakukan sebuah atraksi.” kata Sigit (20), salah satu anggota komunitas skate yang masih menempuh ilmu di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. “Kami main disini karena disini ruang public dan banyak dilihat banyak orang.” tambahnya.
Sepertinya kawasan Nol Kilometer memang memiliki daya tarik yang memikat. Dilihat dari keberadaannya yang menjadi sejarah saja sudah menggugah rasa kagum akan tempat ini. Menurut saya, Nol Kilometer bukan hanya tempat ‘nongkrong’ biasa, tetapi adanya atmosfir yang bisa dirasakan, bukan hanya sekedar dilihat, betapa mengagumkannya tempat ini. Berada di kawasan Nol Kilometer Jogja, mengajak untuk berimajinasi kembali ke masa dulu, dimana belum banyak kendaraan yang melintas, ada air mancur di perempatan dan bangunan Belanda yang gagah dan kokoh. Pesona Nol Kilometer Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H