Ia menunduk, letak kaca matanya bergeser tapi tidak ia benarkan. Sekarang ia bingung harus diapakan sepotong kecil senja ini, sayang jika dibuang. Ia pun berlari dipenghujung sore, di antara nisan menuju rumah. Sesampainya di rumah ia mengambil segelas air putih di gelas kaca dan menumpahkan sepotong senja itu ke dalamnya.Â
Airnya seketika berubah kuning, bercahaya, dan beraroma manis permen kapas. Gendis memandangi gelas itu beberapa saat, setelah itu ia meminumnya hingga teguk terakhir. "Laki-laki bodoh, senja manis begini kau tolak"
Semenjak itu, sebagian senja selalu terbenam dari matanya. Setiap sore ia datang ke bukit, menghabiskan sorenya di sana. Tidak terlalu terang cahaya senja di mata Gendis, karena ia hanya memotong sedikit bagian dari senja. Namun, anehnya siapapun yang melihat senja yang tenggelam di mata Gendis, ia akan merasa sedih mendadak.Â
Seperti film, potongan-potongan kesedihan itu akan muncul ketika menatap mata Gendis saat matahari terbenam. Diantara letak kaca matanya, cahaya kuning itu akan membuatmu bersedih, tak peduli seberapa bahagia ketika itu.
Ia tidak tahu bagaimana cara mengembalikan dirinya seperti semula. Minum air putih yang banyak juga tidak berpengaruh apa-apa. Gendis menganggap ini adalah hukuman karena telah egois dan berani melubangi senja yang seharusnya dinikmati banyak orang. Ia menerima hukuman itu, dan mata Gendis tetap menjadi tempat perpulangnya sebagian matahari, hingga ia menutup umur senjanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H