Perempuan itu membenamkan matahari diantara kelopak mata dan kaca matanya.
Di sana lah matahari sering terbenam serupa senja di cakrawala.
Gendis suka membenarkan letak kaca matanya yang sebenarnya tidak bergeser atau merusut. Ia hanya senang mengetahui kaca matanya dalam keadaan baik-baik saja. Setiap hari, menjelang sore ia duduk di bukit penuh batu nisan, bersiap-siap menenggelamkan matahari di kedua matanya.
Entah sudah berapa lama sejak kejadian itu ia harus menjadi cakrawala untuk matahari yang hendak istirahat. Ia hampir tidak ingat lagi, atau saking terlalu menempel hingga diluar kepala. Ia tidak ingat lagi kapan terakhir kali hidup sebagai perempuan normal tanpa semburat cahaya kuning keemasan dikedua mata.
seharusnya ia tidak menemukan kisah Sukab dan Alina di angkringan malam. Ia mendengar sekelompok remaja sedang asik bercerita, menyesalkan perbuatan Sukab yang memotong senja untuk Alina yang dikirimkan melalui pos. "Bagaimana sih Sukab itu, harusnya ia yang mengantar langsung sepotong senja itu. Bukan pak pos"
Berbeda dengan sekelompok remaja itu, Gendis merasa apa yang dilakukan sukab adalah hal romantis yang akan ia lakukan kepada kekasihnya. Gendis mulai mencari sudut senja paling cantik, ia menaiki gunung, berjalan di pematang sawah, menaiki bianglala, dongeng senja di buku.Â
Segala cara ia lakukan untuk menemukan sudut senja yang paling cantik. Hingga ia sadar sudut senja tercantik adalah ketika ia duduk bersama kekasihnya dan menghabiskan sore dengan memandang matahari terbenam.
Akhirnya ia mengajak pacarnya duduk di bukit kecil dipenuhi nisan. Bagi orang lain akan terasa menyeramkan berlama-lama duduk di sana, tapi tidak dengan Gendis. Ia betah berlama-lama duduk di sana menikmati waktu dan matahari terbenam.
Ketika itu matahari sudah menguning dan bulat seperti kuning telur. Dengan hati-hati Gendis memotong sebagian matahari terbenam dan memasukannya ke dalam kantong.Â
Seketika kantong basah oleh cahaya senja dan cahayanya sangat menyilaukan mata. "Ini kuberikan untukmu, sepotong senja yang masih hangat" Gendis tersenyum lebar, sembari menyerahkan kantong bercahaya itu. Tidak lupa ia membenarkan letak kaca matanya, tentu ia tidak boleh kehilangan momen ketika pacarnya menerima kantong itu dengan tersenyum dan mengecup kening Gendis.
"Gendis, maaf aku sudah tidak mencintaimu. Apalagi ini, kau memotong senja yang ada di langit sana? Rupanya kau sudah tidak waras lagi Gendis. Sudah kubilang, buku-buku yang kau baca akan membuatmu tidak waras".
Lelaki itu pergi meninggalkan Gendis  dengan sekantong cahaya. Gendis belum beranjak dari tempatnya. Ia masih mematung tidak percaya dengan apa yang terjadi. Lelaki yang ia cintai dan lelaki yang menjadi alasan Gendis memotong senja berucap demikian menyakitkan. Ia bahkan tidak memberi kesempatan Gendis untuk bicara.