Menjelang pagi, selepas subuh bapak sudah siap-siap untuk berangkat ke kebun kopi. Benar, bapak adalah seorang petani kopi. Di desa, hanya bapak satu-satunya yang punya ladang kebun kopi. Itulah kenapa di rumah setiap hari tercium aroma kopi.
Kawan-kawan bapak yang lain juga mulai mendatangi ladangnya masing-masing. Petani di desa terkenal dengan kualitas hasil panennya yang bagus. Tentu saja itu karena petani di sini selalu rajin berkebun dan menjaga kualitas panennya. Orang-orang kota selalu memesan buah,padi,dan kopi dari kampung.
Bapak pagi-pagi sudah siap ke kebun sedangkan saya pagi-pagi sudah harus berangkat sekolah. Saya dan bapak sudah terbiasa mengurus hidup tanpa ibu. Ibu pergi 10 tahun silam saat berusaha membuat saya melihat dunia. Tapi nyatanya ibu yang malah berhenti melihat dunia.
Awalnya saya selalu menyalahkan diri sendiri. Andai saja saya tidak lahir mungkin ibu masih ada, atau kenapa saat itu tidak saya saja yang dipanggil tuhan. Namun bapak selalu mengatakan bahwa ibu disayang tuhan. Dan saya sudah menerima itu. Tetapi tetap saja sulit tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu.
Di saat teman sebaya asik menimang kasih sayang dari ibu, saya hanya menimang rasa bersalah. Namun bapak dengan piawainya menggantikan posisi ibu, sedari dulu bapak memerankan peran ganda. Setelah meminum segelas kopi dan beberapa potong singkong rebus, bapak mengambil topi tani dan pergi berkebun.
Saya sedari kecil sudah biasa mencium aroma kopi. Karena bapak, saya jadi suka kopi. Walaupun saya masih kecil kopi sudah jadi teman saya. Saya dan bapak sama-sama suka kopi.Â
erkadang setelah bapak lelah seharian berkebun, kami menghabiskan waktu senja kami di sebuah gardu pinggir sawah sambil menyeruput secangkir kopi. Kopi membuat saya dan bapak menjadi saling buka suara. Bapak orang yang pendiam begitu juga dengan saya. Namun jika ada kopi kami bisa berbicara hangat dan santai.
Lambat laun saya tumbuh besar. Tinggi saya sudah lebih dari bapak. Saya semakin besar bapak semakin tua.
Setelah bangku SMA, saya masih bingung akan saya lanjutkan kemana pendidikan saya ini. Di kampung tidak ada tempat kuliah, SMA saja hanya ada satu. Bapak tidak punya uang jika saya lanjut kuliah. Walaupun bapak bilang punya uang, tapi saya cukup faham dengan ekonomi kami. saya membaca buku di perpustakaan kecil desa.
Buku itu menjelaskan tentang pelatihan meracik kopi. Tentu saja mata saya langsung melek dan membaca buku itu sampai habis. Sekarang saya tau apa yang ingin saya lakukan. Saya ingin menjadi peracik kopi agar bapak bisa merasakan kopi enak buatan saya.
Suatu sore saya membuatkan bapak kopi. Saya ingin menyampaikan niat saya untuk merantau ke kota mengikuti pelatihan itu. Saya sedikit ragu untuk mengatakannya karena mungkin bapak tidak akan menyetujuinya apalagi saya anak tunggal.