Tentu, jika telinga Anda mendengar berita tentang penyelundupan, boleh jadi kata pertama yang berlalu-lalang di kepala Anda adalah jenis narkoba atau sejenisnya.
Manusia sudah mulai menyelundupkan barang, sejak lama. Tetapi angan-angan sembarangan saya berpendapat bahwa, bahasa penyelundupan dianggap ada, sejak sebuah aturan yang melarangnya ada.Â
Maksud saya adalah, tindakan itu tidak akan dikatakan sebagai tindakan kriminal jika belum ada hukum yang mengatur tentang itu. Itulah kenapa saya berpendapat bahwa manusia sudah melakukan penyelundupan barang, sejak manusia telah dikatakan pernah membawa jenis barang ke luar wilayah asalnya. Hanya saja, tentu dulu itu tidak disebut upaya penyelundupan. Tetapi disebut pindah.
Batas suatu wilayah, atau negara menjadi alasan yang pertama. Penguasa di dalam suatu wilayah memberlakukan bea terhadap apa saja yang melewati batas wilayahnya.Â
Maka, bea kemudian diatur ke dalam bentuk nominal yang harus dibayar. Hal ini nanti akan menjadi salah satu poin saya, selain dari beberapa poin-poin yang lain, terhadap alasan-alasan yang menyangkut terjadinya tindakan di kalangan masyarakat untuk menyelundupkan barang.
Sejauh ini, dari berbagai kabar-kabar berita yang bertebaran di media yang saya ketahui, 5 jenis "Sas" menempati posisi angka terbanyak dalam jenis pelanggaran hukum ini. Pertama, adalah Elektronik. Disambung oleh kawan akrabnya, Narkotika, selanjutnya ditempati oleh Pakaian Jenis Second, kemudian Hewan Langka dan yang terakhir bahkan adalah, Manusia.
Upaya itu juga masing-masing telah didukung oleh motif-motif yang melatarbelakanginya. Dismilaritas harga menjadi alasan pertama. Misalnya, kontras harga yang berlaku di dalam negeri dengan luar negeri. Selisih harga ini jelas terlihat pada barang-barang elektronik seperti Handphone dan lain-lain. Sebagaimana itu tadi telah saya tulis di atas.
Yang kedua, adalah biaya yang harus dibayar ketika barang melewati Pos-pos pemeriksaan, besar. Terakhir Indonesia telah mengatur kembali pajak import di tahun 2018, menjadi 75 USD berserta kelipatan-kelipatannya.Â
Jadi, misalkan Anda mengimpor barang dengan jumlah total nominal barang adalah Rp. 5.000.000, maka pajak import yang harus Anda bayar kepada negara Indonesia adalah, kurang lebih berkisar Rp. 540.000.Â
Biaya ini, barangkali dianggap besar bagi beberapa orang. Artinya, semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, maka semakin besar peluang penyelundupan dilakukan. Rumusnya sudah begitu. Nah, maka pilihan terakhir yang lebih menjanjikan keuntungan besar adalah, "selundupkan saja-lah. Pusing amat!".
Motif yang terakhir, kalau menurut saya adalah, tentu saja karena barang itu dilarang. Alasan terakhir ini telah langsung berkaitan dengan 5 jenis "Sas"Â yang sudah saya tulis di atas tadi.Â
Artinya, varietas ini sasarannya sudah jelas adalah Narkotika dan semua jenis buntut-buntutnya. Artinya, semakin dilarang, maka semakin memperbesar probabilitasnya digelapkan.
Sejak tadi, sebenarnya diam-diam saya berupaya untuk tidak menyangkutkan tulisan saya ini dengan kasus yang menjerat leher Direktur Utama Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia yang sedang ramai diperbincangkan di berbagai media sosial saat ini.Â
Karena bagi saya tidak penting. Sebab menurut saya hal-hal seperti itu sudah bukan lagi seolah-olah adalah kabar baru di Indonesia. Melainkan sudah menjadi ketololan abadi yang turun temurun. Terus berputar dalam siklus yang berulang-ulang secara terus-menerus sampai mampus jungkirbalik.
Tentu saja, puluhan Harley Davidson terbang di langit, diseberangkan oleh seorang Pendekar yang duduk dibelakang meja dengan mudah-mudah saja.
Itulah kenapa sering saya berangan-angan, jika saja saya menjadi Presiden, maka kebijakan pertama yang akan saya lakukan adalah membubarkan negara ini, lalu saya bunuh diri. (*)
Penulis Tidak Beres Kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H