Mohon tunggu...
Yokebet Mega
Yokebet Mega Mohon Tunggu... Guru - Guru dan pembelajar

I am an ordinary person who believes that life is full of miracles. I learn from my life and anything around me then share my experience and views to others.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hidup Baru tanpa Rahim

3 Desember 2017   20:21 Diperbarui: 6 Desember 2017   07:59 7956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sedikit meringkas apa yang sudah aku tulis sebelumnya. Sudah bertahun-tahun aku berjuang melawan rasa sakit dan anemia setiap datang bulan, mengunjungi beberapa dokter kandungan dan berkali-kali menjalani terapi hormon. Tahun 2014 menjalani operasi laparoskopi untuk membersihkan jaringan endometriosis, mengangkat kista ovarium dan miom. Diagnosa dokter adalah endometriosis, kista ovarium, mioma uteri dan adenomiosis. Sepertinya hampir semua gangguan organ reproduksi aku alami, tetapi ini tidak menyurutkan semangat untuk menjalani hidup. Setelah operasi laparoskopi kualitas hidup semakin membaik, nyeri haid jauh berkurang, semakin jarang minum obat penahan sakit dan tidak perlu ijin bekerja ketika datang bulan.

Di awal tahun 2017, 3 tahun setelah operasi laparoskopi, gangguan nyeri haid mulai datang lagi, kram perut, haid berat dan anemia kembali aku rasakan. Di bulan April 2017 aku memeriksakan diri ke dokter kandungan di Surabaya. Hasil USG menunjukkan kista dan miom tumbuh lagi, dan seperti sebelumnya aku menjalani terapi hormon dengan mengkonsumsi obat hormon, Visanne. Selain itu dokter memantau kondisiku sebulan sekali untuk tahu bagaimana perkembangan kista dan miom. 

Di awal bulan Juni aku mulai mengalami pendarahan, awalnya hanya sedikit dan aku berpikir ini sesuatu yang normal selama terapi hormon. Setelah hampir dua minggu pendarahan semakin banyak, aku mulai khawatir dan menemui dokter. Setelah pemeriksaan USG, tanpa diduga dokter berkata, "Kalau kondisi seperti ini lebih baik angkat rahim. Kapan mau operasi?" Aku terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespon, aku tidak siap menjawab. Akhirnya aku minta waktu untuk memikirkan dan berdiskusi dengan keluarga, kemudian dokter memberi obat untuk menghentikan pendarahan dan untuk mengatasi anemia karena saat itu kadar hemoglobinku 9.

Mencari second opinion adalah langkah selanjutnya. Aku berkonsultasi dengan dokter kandungan yang lebih berpengalaman. Setelah mengetahui riwayat kesehatan dan melihat hasil USG, dokter memberikan pendapat yang sama, yaitu total histerektomi. Sesuai dengan bidang keahlian beliau merekomendasikan untuk operasi laparoskopi, atau istilah medisnya Total Laparoscopy Hysterectomy (TLH). Tidak hanya mengangkat rahim dan serviks, dokter juga mengangkat kedua ovarium atau istilah medisnya Bilateral Salpingo Oophorectomy(BSO). Setelah berdiskusi dengan keempat kakakku, akhirnya diputuskan untuk operasi TLH-BSO di Surabaya. Sampai pada titik ini, aku merasa ada kekuatan yang luar biasa dalam diriku. Di sisi lain aku sudah lelah dengan rasa sakit yang aku alami, kram perut, haid berat dan pendarahan yang terus menerus. Keputusan besar yang diambil secara sadar, dan aku paham akan resiko yang akan dihadapi bahwa aku tidak akan bisa hamil.

Jadwal operasi ditentukan pada 16 Juni 2017 dan selama menunggu hari operasi aku mencoba makan makanan bergizi. Sebagai anak kos, tidak mudah untuk makan makanan sehat, apalagi saat itu mobilitasku terbatas karena badan terasa lemas dan jika banyak beraktivitas termasuk keluar rumah, pendarahan semakin banyak. Bersyukur ada layanan pesan antar online dan bantuan teman-teman yang membelikan makan. Atasanku di kantor tempatku bekerja juga sangat memahami kondisiku dan mendukung sepenuhnya. 

Persiapan dimulai satu hari sebelum operasi, aku mulai rawat inap untuk mengecek kondisi kesehatan secara umum. Hasil pemeriksaan normal, kecuali kadar hemoglobin yang masih di bawah normal, yaitu 10. Untuk berjaga-jaga, disiapkan 2 kantong darah. Operasi dijadwalkan jam 3 sore keesokan harinya. Proses selanjutnya adalah puasa dan proses cuci perut atau urus-urus. Sebuah proses yang tidak nyaman tapi harus dijalani. Tim dokter yang akan melakukan operasi juga datang untuk mengecek kondisiku. Salah satu kakak perempuanku datang dari Jogja untuk mendampingiku, teman-teman datang menjenguk, bahkan pak bos bersama istri juga datang memberi dukungan. Malam itu tekanan darahku agak tinggi, mungkin karena ada rasa kuatir dan lelah seharian menerima kunjungan teman-teman yang terus berdatangan sampai malam.

Keesokan harinya aku bangun dan melanjutkan proses persiapan operasi. Jam 8 pagi, perawat memasang infus dan memintaku berganti baju operasi. Sekitar jam 14:00, Bapak Pendeta dan istri datang untuk mendoakan, ini yang membuatku semakin siap menghadapi operasi. Jam 14:30 aku dibawa ke ruang operasi, ketika di ruang persiapan dokter datang untuk mengecek dan memberi penjelasan singkat tentang operasi yang akan aku jalani. Kakakku bilang operasi berjalan sekitar 2 jam dan semua berjalan dengan baik. Kadar hemoglobinku tidak turun banyak setelah operasi sehingga tidak perlu transfusi darah. Ketika mulai tersadar, rasa sakit mulai terasa meskipun masih dalam pengaruh obat bius. 

Malam itu terasa begitu panjang karena sakit paska operasi. Keesokan harinya ketika bangun, badan terasa lebih baik, rasa sakit berkurang dan pusing pun hilang. Setelah mandi, aku diperbolehkan untuk setengah duduk. Yang paling membahagiakan saat itu adalah aku diperbolehkan minum sedikit demi sedikit dan makan bubur. Setelah itu yang dinantikan adalah buang angin, sesuatu yang sangat berharga setelah operasi. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang, setelah bisa buang angin, infus dan kateter dilepas dan aku diperbolehkan untuk latihan turun dari tempat tidur. Meskipun masih terasa nyeri, aku mencoba untuk berjalan pelan-pelan. Siang itu dokter datang untuk memeriksa dan beliau mengatakan semua berjalan baik dan aku diijinkan pulang keesokan harinya. Masa pemulihan paska operasi laparoskopi memang lebih cepat dibandingkan prosedur operasi yang lain. Meski demikian, histerektomi adalah tindakan operasi besar, dan ternyata tubuh perlu waktu untuk pulih. Ini yang tidak sepenuhnya aku sadari sampai memasuki masa pemulihan. Aku mulai tidak sabar dengan proses pemulihan paska operasi.

Di rumah aku mulai beraktivitas. Ternyata badan mudah sekali lelah, bahkan setelah beraktivitas ringan seperti menyapu dan mencuci baju pakai mesin cuci. Satu minggu setelah operasi aku beranikan diri naik motor sendiri, waktu itu ada reuni dengan teman-teman sekolah. Aku tidak mau terlalu tergantung antar jemput dan merasa kondisiku baik-baik saja. Ketika sampai rumah, ada pendarahan dan nyeri, untunglah setelah beristirahat  kondisi membaik. Setelah dua minggu beristirahat, aku kembali bekerja. Sekali lagi aku merasa baik-baik saja, bolak-balik rumah ke kantor aku nyetir. Jarak Surabaya-Gresik yang lumayan jauh dan ditambah kemacetan jalan membuatku mengalami pendarahan yang cukup banyak. Aku sempat ketakutan dan meminta tolong teman mengantarku ke IGD. Aku masih perlu belajar untuk mendengarkan tanda-tanda yang dikirim oleh tubuh, jika perlu istirahat aku harus istirahat. Belajar untuk tidak mengabaikan tubuh dan minta bantuan orang lain bukanlah hal yang mudah karena aku terbiasa mandiri dan aktif.

Tantangan lain yang kuhadapi selanjutnya adalah proses menopause. Dengan pengangkatan rahim dan ovarium, membuat tubuh dipaksa memasuki masa menopause, dan ini bukanlah proses yang menyenangkan. Gejala-gejala menopause mulai terasa seperti hot flashes, tiba-tiba kepanasan, mood swings, gampang capek dan vertigo cukup mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesuai saran dokter, aku menjalani terapi sulih hormon dengan dosis yang secara perlahan dikurangi. Terapi ini bertujuan untuk membantu tubuh menyesuaikan diri sehingga proses menopause dikondisikan seperti menopause normal. Kira-kira 2 atau 3 bulan setelah operasi tiba-tiba ada perasaan kehilangan dan sedih. Setiap kali lihat ibu hamil atau anak kecil, tiba-tiba ada rasa sedih dan tidak jarang sampai menangis. Setelah curhat dengan teman-teman dekat dan membaca artikel dari online support community yang aku ikuti, ternyata ini adalah hal yang normal terjadi setelah histerektomi. Perlahan-lahan aku bisa melewati dan mengatasi perasaan kehilangan dan sedih.

Sekarang aku sudah lebih siap menjalani hidupku yang baru setelah histerektomi. Secara fisik, aku masih perlu mengatur aktivitas, asalkan tidak terlalu lelah semua baik-baik saja. Dokter dan teman-teman mengatakan butuh waktu 6 bulan sampai 1 tahun sampai tubuh merasa nyaman. Secara psikis, aku juga merasa jauh lebih baik, sudah bisa mengontrol emosi. Sampai saat ini masih menjalani terapi sulih hormon, dosisnya sudah semakin dikurangi dan tubuh bisa beradaptasi dengan baik. Bersyukur untuk keluarga dan teman-teman yang sudah menjadi pendengar yang setia dan selalu ada ketika aku membutuhkan. Hidup baru tanpa rahim yang aku jalani membuatku menjadi perempuan tangguh yang siap menikmati suka duka kehidupan. Aku tidak bisa menjalani semua ini sendirian tanpa pertolongan Tuhan dan dukungan orang-orang di sekitarku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun