Mohon tunggu...
Fajar Nurmanto
Fajar Nurmanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kalau Indonesia Butuh Musyawarah, Pemerintah dan Industrinya Malah Hitung-hitungan, Kapan Ketemu?

24 Januari 2016   22:53 Diperbarui: 24 Januari 2016   23:23 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, saya sempat membaca dua artikel yang membuat tersedak. Pertama, adalah anggapan bahwa biang kerok kemiskinan masyarakat Indonesia adalah rokok. Anggapan itu tertuang dalam opini Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Pusat Muhammadiyah. Opini beliau tertulis di Harian Kompas tanggal 19 Januari 2016 dengan judul “Pembunuh itu Bernama Nikotin.”.

Rokok dianggap sebagai pembunuh utama Bangsa Indonesia dan penyebab kemiskinan. Angka kematian yang disebabkan rokok mencapai 235 ribu jiwa dimana negara tiap tahun harus membayar 11 triliun untuk anggaran pengobatan. Ini jelas barang yang aneh karena menganggap ketika seseorang merokok, ia sama dengan menembakan pistol berpeluru ke arah kepalanya sendiri.

Saya tak hendak berkata-kata untuk membela para perokok. Namun lebih pada menghargai bahwa rokok selama ini adalah katarsis pelepas penat dan stres para rakyat kecil. Apalagi siklus olahan industri rokok selama ini padat karya; mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh petik, buruh linting, dan buruh pabrik rokok. (tanggapan terhadap "Pembunuh itu Bernama Nikotin")

 

Sebagian besar orang kecil tadi, adalah mereka yang menghidupi dirinya sepenuhnya dari rokok. Berarti industri rokok bukanlah membuat miskin, melainkan memberi nafkah pada orang kecil. Kalau tidak percaya, marilah survey ke pabrik-pabrik rokok. Selain itu, apakah kita melupakan berapa besar cukai yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan rokok Indonesia pada negara?

Para orang yang hidupnya jauh dari hingar bingar kota dan kemajuan teknologi itu, hanya mengeluarkan berapa persen dari penghasilannya untuk penghiburan diri. Semisal hendak dibilang memiskinkan negara, apakah relevan? Cobalah bandingkan uang mereka untuk merokok dengan anggaran tunjangan dan jaminan kerja para anggota dewan yang terhormat di Senayan. Seingat saya bahkan ada dari mereka yang memprotes uang makan karena tidak cukup untuk membeli lobster sebagai menu kesukaan?

Ini masalahnya sebenarnya yang perlu dipangkas. Gengsi-gengsi macam anggota dewan yang berpikir mereka pantas untuk mendapat fasilitas kelas wahid. Mereka yang jumlahnya hanya segelintir orang, kemungkinan dibiayai jauh lebih besar oleh negara dengan performa kerja yang belum tentu sepadan.

Kembali ke bahasan artikel, ada artikel kedua yang menghantam. Yaitu empat masalah media di Indonesia versi AJI yang ditulis di Tempo. Salah satu masalah media di Indonesia adalah menjamurnya media abal-abal. Dalam pandangan saya, masalah tersebut adalah hasil berantai ketiga masalah lain; dominasi kepemilikan, media partisan, dan media yang kontennya tidak mendidik. (empat masalah utama media Indonesia versi AJI)

Media memang industri yang padat modal. Setiap detik yang disiarkan bernilai hingga ratusan juta rupiah. Maka mari dimaklumi kalau sebagian besar tayangannya pasti bernilai komersial; kalau tidak dibayar sponsor besar pasti memiliki rating yang tinggi. Karya anak bangsa macam animasi yang sedang berusaha naik daun, macam; Gob and Friends, Asia Raya, Petualangan si Adi, Garuda Riders, dan lain-lain; jangan harap bisa tampil di layar kaca sampai entah kapan.

Masyarakat yang jengah lalu mencari sumber-sumber informasi lain lewat media baru. Sayangnya tidak semuanya mempunyai cukup bekal untuk memilah informasi. Tidak mampunya memilah informasi kemudian dimanfaatkan clickbaiters untuk mendulang keuntungan. Jumlah audiens ini pasti besar, karena clickbaiters-clickbaiters membuat media abal-abal tiap harinya.

Jika ditarik dengan kasar, kedua hal di atas menggambarkan bagaimana tidak singkronnya pendekatan berdasarkan hitung-hitungan pusat dan masyarakat daerah. Kalau tidak hati-hati, apa yang dihitung justru malah tidak relevan dipahami oleh yang pihak-pihak yang bersinggungan. Dalam hal ini ya, pemerintah, elit akademisi, ormas, media, dan bangsa ini sendiri. Kita butuh ketemu rutin untuk musyawarah antar-elemen sepertinya, tetapi lewat mekanisme di luar perwakilan formil yang ada di Senayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun