Setelah beberapa kali menulis tulisan dengan tema yang sama, bagi saya cenderung ada kebosanan. Latah kalau boleh berkata, apalagi ketika tak ada ide baru yang diperoleh dari objek tulisan. Sebagai contoh, animasi yang kerap saya coba sungging yaitu Gob and Friends.
Pertama kalinya animasi ini muncul, ia memang memberikan atmosfir baru dalam dunia hiburan. Selain kemunculannya yang heroik karena didukung berbagai pegiat animasi dalam negeri, pemilihan karakter dan bentuk para tokoh juga tergolong baru. Indikator sederhananya adalah banyaknya penonton episode pertama di kanal resmi Gob and Friends. Terakhir aku cek pada tanggal 6 Januari 2016 pukul 22:04, episode pertama ditonton sebanyak 4.162 kali.
Episode berikutnya yang berjudul “Photo”, diliat sebanyak 2.124 kali. Sementara itu, sampai pada episode ke sembilan, tak ada video yang menembus angka 1.600 kali. Sebenarnya apakah yang sedang terjadi dengan animasi ini? Animasi yang digadang-gadang sebagai video terbaik karena berhasil menggondol dua piala nominasi di ajang Indonesia Film Trailer Award. Gob and Friends masuk dalam kategori video trailer terbaik dan animasi favorit penonton.
Salah satu tolak ukur kesuksesan dari sebuah media adalah kuantitas audiens. Sayangnya, lewat performa yang ditampilkan Gob and Friend di YouTube, jelas ada dua kegagalan di sini dinilai dari banyaknya penonton video Gob and Friends di tiap episode. Pertama, adalah kegagalan mempertahankan jumlah penonton di tiap episodenya. Kedua, ialah kegagalan untuk menarik penonton baru dengan potensi yang dimiliki Gob and Friends.
Bila mengingat logika arsip terbuka di internet, makin lama ia disimpan, maka jumlah pengaksesnya harus makin tinggi. Lantaran semakin cepat arsip diunggah, maka makin banyak pula orang yang bisa mengakses. Faktor banyaknya penonton tersebut bisa berlipat ketika dikali faktor waktu dan promosi. Sayangnya ini belum terjadi pada Gob and Friends.
Saya pernah melihat video wawancara tim Gob and Friends di Semarang. Acara temu wicara tersebut mengungkap potensi film animasi di masa depan. Kesulitan yang masih kentara adalah monetisasi. Karena dikelola secara mandiri, tak ada pemasukan iklan dari pihak luar. Pemasukan hanya didapat dari YouTube sebesar kurang-lebih 1$ tiap 1.000 penonton. Itu pun kalau penonton tidak memotong siaran iklan atau memijit tombol keluar.
Kalau kita bayangkan untuk video pertama ada sekitar 4.000 penonton, maka tim Gob and Friends memperoleh kurang-lebih 4$ atau 60.000 rupiah. Jumlah yang sangat sedikit untuk bisa berkreasi secara mandiri. Alternatif lain yang bisa ditempuh untuk pengumpulan dana, ialah penjualan merchandise atau aksesoris.
Kritik ini bukan bertujuan untuk menghancurkan semangat tim Gob and Friends. Namun lebih kepada kesadaran pentingnya apresiasi penonton dalam karya. Kalau berkarya dalam medium film animasi, bentuk apresiasinya ya banyaknya orang penonton. Saya yakin salah satu animator kondang di Main Studio, Marlin Sugama, dulu juga memikirkan permasalahan ini. Semoga lebih baik lagi tim Gob and Friends!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H