Siang tadi, saya menemukan tautan dari situs Time di beranda Facebook. Tautan tersebut berjudul How to Parent Like a German. Isinya bercerita mengenai pengalaman seorang Ibu dari Amerika yang begitu kaget melihat orang Jerman memperlakukan anak-anak mereka. Nama ibu tersebut adalah Sara Zaske.
Sara Zaske terkejut ketika melihat para orang tua berkumpul dan tak mengacuhkan anak-anak mereka yang tengah bermain. Mereka malahan berbincang bersama, minum kopi, dan saling bercanda. Padahal anak-anak mereka sedang bermain gantungan di atas lubang pasir dengan ketinggian 20 kaki.
Berdasarkan artikel di tautan tersebut, banyak dari kita memiliki stereotip orang Jerman bersifat kaku dan tegas. Padahal ternyata tidak sepenuhnya demikian. Mereka ternyata menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggungjawab, kemandirian, dan privasi. Itulah nilai yang ditanamkan para orang tua di Jerman pada anaknya bahkan sebelum menginjak usia sekolah.
Beberapa hal yang tidak terduga dari cara orang Jerman mendidik anaknya juga bisa ditemukan di tulisan Sara Zarke ini. Pertama, mereka tidak pernah memaksakan pendidikan semenjak usia dini. Misalnya ketika di taman kanak-kanak, para balita di Jerman tidak diajarkan untuk membaca dan menulis. Mereka malah diajak untuk bermain serta bersosialisasi dengan anak-anak seusianya.
Kanak-kanak di Jerman baru diajari menulis dan membaca ketika memasuki sekolah dasar. Itu pun tidak dijejali dengan pelajaran-pelajaran akademik yang berat macam ilmu pengetahuan alam ataupun keterampilan matematis lanjut. Namun, jangan salah duga dengan metode ini. Berdasarkan penilaian di tahun 2012 oleh Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi, anak-anak Jerman di umur 15 tahun memiliki prestasi internasional terbaik.
Satu hal lain yang lebih menonjol adalah anak-anak Jerman semenjak kecil diajari untuk berani melakukan kewajibannya. Contohnya mereka diperbolehkan untuk naik kereta bawah tanah sendirian untuk pulang-pergi sekolah. Selain itu, para guru sangat menghargai privasi anak-anak tersebut. Para guru dan orang tua para murid pun harus meminta ijin ketika ingin membuka folder atau loker milik murid.
Lalu ketika berbicara di Indonesia, saya melihat permasalahan yang berbeda. Kompetisi di negara berkembang yang kian ketat, menuntut pengembangan kemampuan dan keterampilan semenjak usia awal. Waktu bermain dikurangi dan digantikan oleh berbagai jenis les atau pelajaran tambahan. Memang tak bisa disamakan antara Jerman dengan Indonesia yang mana konteks kehidupan masyarakatnya berbeda.
Â
Meski begitu, ada beberapa hal yang bisa diupayakan. Contohnya adalah memilih media untuk pendidikan dengan pesan implisit. Contohnya saya ingat ketika menonton episode ke tujuh dari webseries  Gob and Friends di YouTube. Ada hal lucu yang ditampilkan, yaitu tokoh utama Gob yang berani menjelajahi kota ketika malam hari. Bahkan ia cukup berani untuk menggoda si tokoh hantu sampai lari terbirit-birit. Film yang mengirim pesan dan keberanian seperti ini haruslah diperbanyak semestinya. :)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H