Opini : Yoh. Sandriano N. Hitang
Kepemimpinan memang menjadi poin penting dalam hukum kausalitas munculnya konsensus. Â Seandainya tidak ada kepemimpinan maka individu-individu yang merumuskan konsensus hanya sebuah kerumunan manusia yang memiliki beragam kepentingan. Di sini fenomena kepemimpinan menjadi bermakna filosofis. Kepemimpinan adalah sebuah keharusan sejarah yang timbul sebagai akibat dari munculnya masyarakat dan di saat bersamaan menjadi solusi untuk menjawabi kepentingan bersama.
Berkaca pada realita kekinian, kepemimpinan menjadi topik hangat yang rutin untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak? Degradasi moral dalam konteks kekinian juga menjadi sebuah kegelisahan yang berakar dan layak untuk dipangkas. Hal ini merujuk pada kontekstualisasi kepemimpinan era ini. Fakta bahwa kepemimpinan saat ini masih terdapat korupsi, kolusi, nepotisme, upaya pelemahan KPK, penindasan terhadap kaum tertindas dan yang lainnya semakin merujuk dan membenarkan sebuah pemahaman bahwa realita kepemimpinan saat ini mengalami siklus defisit akan kepemimpinan, kepemimpinan yang berprinsip bukan sekedar kepemimpinan tanpa prinsip. Bahkan, dari berbagai survei yang mengukur kualitas bangsa, Indonesia selalu berada di urutan tertinggi. Dari kemacetan, polusi, hingga korupsi. Sebaliknya, dalam hal baik (negara teraman, terbersih, dan sebagainya) kita selalu berada di urutan bawah. Semua perilaku buruk: tidak disiplin, mudah marah, tidak toleran, makin sering muncul. Itu artinya kita sedang mengalami degradasi karakter secara obyektif maupun subyektif (Harian Kompas edisi Rabu 29/4/2015). Pertanyaannya, inikah kualitas kepemimpinan yang kita kehendaki? Tetapi realita berbicara lain, cenderung melenceng dari hakikat suci sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan oleh segelintir individu dianggap sebagai posisi bukan aksi. Ini jelas bertolak belakang dengan hasrat suci dari kepemimpinan itu sendiri bahwa kepemimpinan adalah aksi bukan posisi (leadership is action not possision). Idealnya, pemimpin adalah sosok yang sangat dinanti-nantikan publik. Hadirnya pemimpin dianggap layak untuk menjawabi kegelisahan sekaligus menjadi spirit terutama dalam menyuarakan perubahan yang merupakan orientasi sebuah bangsa ke depannya. Meskipun demikian, realita berbicara lain. Kegelisahan publik semakin membengkak, membuncah layak untuk ditinjau kembali. Apakah ini kepemimpinan yang dikehendaki, ataukah sebaliknya. Sangatlah bijak ketika kita merujuk pada realita kekinian.
Berpijak dari kegelisahan yang berakar, pemimpin dalam kepemimpinan dengan otoritas seorang raja dan hati seorang hamba menjadi harapan yang kerap dinantikan untuk diwujudkan oleh sebagian publik. Pemimpin dalam kategori ini diidentikan dengan seorang nabi. Tragisnya, bahkan ada yang menantikan sekaligus mengidentikannya dengan kepemimpinan mesianik. Apalagi jika disoroti dari konsep kepemimpinan mesianik yang merujuk pada otoritas seorang raja dan hati seorang hamba. Jauh dari harapan publik, tetapi bukan berarti di luar jangkauan. Ironinya sebagiannya lagi mendiskreditkan pemimpin dalam kategorial yang seperti ini. Kehendak akan penantian pemimpin layaknya sang nabi, cenderung mematikan nalar.
Secara anekdotal,  pemimpin dengan otoritas seorang raja tetapi hati seorang hamba dalam sistem demokratis memiliki beberapa karakteristik. Pertama, dari sisi rakyat yang dipimpin tampak irasionalitas dalam bentuk harapan berlebihan. Harapan berlebihan akan hadirnya pemimpin yang menjawabi kegelisahan publik menjadi indikator penentu keberhasilan seorang pemimpin. Harapan berlebihan tersebut menyangkut beberapa hal yaitu integritas, komitmen dan kompetensi. Tetapi perlu juga diakui bahwa pada saat bersamaan pemimpin juga harus dilihat secara obyektif sebagai manusia politik. Hal  yang harus diingat, bahwa kontestasi dan trade-off kepentingan publik dengan kekuatan elite pendukung semakin menguat seiring dengan lebih tingginya jabatan yang dipegang. Implikasinya berdampak juga pada maju mundur kondisi kebangsaan. Mengapa? Karena dalam menjalankan roda pemerintahan pemimpin senantiasa bernegosiasi dengan kekuatan politik pendukung sekaligus berhadapan dengan sejuta harapan publik. Menaruh harapan terhadap kompetensi pemimpin secara manajerial dan teknokratis hendaknya dipahami secara obyektif. Pertanyaannya, apakah publik salah jika menghendaki pemimpin dengan otoritas seorang raja dan hati seorang hamba?
Kedua, pemimpin pada umumnya diposisikan sebagai antitesis pemimpin sebelumnya. Antitesis yang dimaksud secara retoris mempertentangkan atau mendampingkan kata-kata yang menyandang arti berlawanan . Dalam konteks ini pemimpin yang memiliki otoritas seorang raja dan hati seorang hamba adalah sebuah antitesis karena kata-kata yang ada saling bertentangan. Dalam filsafat, antithesis adalah proposisi filosofis yang dikemukakan melawan suatu tesis yang diutarakan. Dapat dimengerti bahwa pemimpin dengan otoritas seorang raja dan hati seorang hamba adalah dua paradoks berbeda tetapi sungguh indah bila diterapkan. Lantas pertanyaannya, apakah  salah jika publik menghendaki kepemimpinan yang seperti itu?
Menanggapi problematika sosial kemasyarakatan yang secara spesifik merujuk pada konsep kepemimpinan, hendaknya publik bijak dalam berharap. Harapan berlebihan pada akhirnya menimbulkan persoalan kala realitas cenderung terbalik. Benar bahwa yang dibutuhkan oleh publik adalah tindakan bukan kata-kata, yang dijanjikan adalah kebebasan bukan perbudakan. Tetapi realitas cenderung berbeda, kebanyakan melenceng dari harapan. Boleh-lah jika kita menghendaki pemimpin yang memiliki otoritas seorang raja dan hati seorang hamba. Tetapi idealisme yang seperti ini janganlah hanya menjadi slogan belaka. Merujuk pada kerangka berpikir saya menghindari idealisme yang demikian, idealisme yang terjebak mesianisme, semestinya kita harus realistis menaruh harapan kepada pemimpin.
Pertama, fragmentasi kekuatan kepentingan memungkinkan pemimpin mengalami kesulitan dalam membuat kebijakan yang efektif. Di tingkat nasional, pemimpin harus bernegosiasi dengan beragam kepentingan. Di saat bersamaan pemimpin memerlukan dukungan dari berbagai pihak yang juga merupakan manusia politik..
Kedua, imbas dari kebijakan yang diambil mengatasnamakan kebijakan publik. Persoalannya tidak semua publik menghendaki adanya kebijakan-kebijakan tertentu. Di sisi lain tuntutan akan peran seorang pemimpin mutlak harus dijalankan. Sementara  keberhasilan sebuah kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh seoran pemimpin, sekalipun dibenarkan pemimpin memiliki tanggung jawab sepenuhnya akan sebuah kepemimpinan. Ironinya kesalahan seringkali dilimpahkan kepada seorang pemimpin.
Bagaimanapun juga patutlah diakui bahwa kita tentu sangat berharap bahwa seorang pemimpin haruslah dapat menunjukkan capaian yang lebih baik. Tetapi harus realistis mengakuinya juga. Bahwasannya pemimpin juga merupakan manusia politik, itulah yang harus dipahami. Realistis dalam berpikir, bertindak itulah yang diharapkan. Jika menghendaki adanya kepemimpinan yang sesuai yang diharapkan dalam garis kehendak, norma barangkali, hal yang harus dilakukan adalah bijak dalam penilaian. Mendiskreditkan segelintir tanpa upaya konkrit yang kita tunjukan tidak dapat dibenarkan juga. Lantas apa upaya konkrit yang harus kita lakukan?Â
Hidup dalam pemerintahan demokratis, seyogyanya-lah jika memberikan gagasan  dalam bentuk verbal. Keterbukaan, partisipasi, akuntabilitas, demokrasi itu sendiri boleh dianggap sebagai kunci keberhasilan kepemimpinan. Keterbukaan dapat dipahami sebagai transparansi komunikasi yang dapat dipahami kala individu bebas tetapi jujur dalam berbagai isu. Secara otomatis menghindari adanya game playing. Partisipasi dapat dimengerti sebagai salah satu bentuk implementasi kepemimpinan atas dasar keyakinan akan kesejahteraan. Proaktif bisa dianggap sebagai pilihan yang tepat. Karena itu visi bersama akan kesejahteraan mesti menjadi cita-cita bersama bukan sekedar slogan belaka. Akuntabilitas dapat dipahami sebagai pertanggungjawaban yang harus dimiliki oleh setiap warga jika menghendaki adanya kepemimpinan sebagaimana yang dikehendaki. Bahwa kepemimpinan bukan saja menjadi tanggung jawab seorang pemimpin tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh warga Negara. Demokrasi sebagai gaya kepemimpinan hendaknya diartikan secara mendalam. Bukan sekedar bereuforia tentang demokrasi. Rakyat tidak hanya dituntut untuk memiliki harapan dari seorang pemimpin, tetapi bersama membangun dan merealisasikan harapan.