Mohon tunggu...
Joe
Joe Mohon Tunggu... -

Hasrat, kemauan, idealisme, tiang penyanggaku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi "Rayap Bangsa"

27 Maret 2016   23:24 Diperbarui: 3 September 2016   19:14 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opini: Yoh. Sandriano N. Hitang

Menyitir  Moh. Hatta, “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi.” 

Membaca gelagat zaman yang semakin tua dan lesuh, kompleksitas persoalan hadir mewarnai dinamika kebangsaan. Sebagai bangsa yang besar eksistensi Indonesia turut dipengaruhi kerangka zaman yang multidimensional bahkan transrasional. Maraknya persoalan yang melanda negeri ini tak lagi dihitung dengan deret hitung melainkan deret ukur. Berbagai upaya untuk mengatasi persoalan yang ada sekedar retorika tanpa ujung bahkan cenderung masif, sistematis dan terhegemoni dalam siklus peradaban manusia yang kompleks. Ing ngarso sung tulodho,ing madyo mangun karso,tut wuri handayani sebagaimana yang dituturkan Ki Hajar Dewantara artinya yang di depan hendaknya memberi contoh/menjadi teladan,yang di tengah mendukung dan memberikan semangat, yang di belakang mengikuti yang di depan dan di tengah, menjadi ekspektasi dari punggawa bangsa ini. Tetapi realita cenderung berbanding terbalik boleh dikatakan kontras. Hal ini menegasikan kita pada sebuah kenyataan yang jauh dari ekspektasi publik pada umumnya. Problematika sosial kemasyarakatan yang marak terjadi dalam kemasan eksotik yang didalangi oleh segelintir orang yang mengaku mencintai bangsa ini tetapi justru menghancurkan  bangsa ini sedikit banyak menghantarkan kita pada sebuah kondisi yang layak untuk dikaji sebagai suatu bentuk degradasi yang merujuk pada moral bangsa ini. Berbagai kasus yang melanda negeri ini, salah satunya korupsi membalikan kepercayaan publik terhadap elite politik negeri ini. Korupsi menjadi polemik dan bencana bagi negeri ini. Masa depan bangsa menjadi suram dengan maraknya badai korupsi yang melanda ibu pertiwi. Korupsi ibarat rayap yang menggerogoti sekaligus menghancurkan konstruksi kehidupan bangsa yang tengah dibangun, ibarat virus yang menyebarkan sejumlah penyakit bangsa.

Menilik data yang terakses melalui ini, per 31 Mei 2015, di tahun 2015 KPK melakukan penyelidikan 29 perkara, penyidikan 12 perkara, penuntutan 12 perkara, inkracht 11 perkara, dan eksekusi 16 perkara. Dan dengan demikian, maka total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2015 adalah penyelidikan 694 perkara, penyidikan 423 perkara, penuntutan 334 perkara, inkracht 294 perkara, dan eksekusi 311 perkara. Belum lagi data-data korupsi yang terjadi selama satu dekade terakhir. Tentunya ini bukanlah sebuah  prestasi yang membanggakan. Dibanggakan jika ini dimaknai sebagai suatu bentuk keberhasilan KPK dalam menangani kasus korupsi yang terjadi. Tetapi jika merujuk pada sebuah kedalaman berpikir  data  itu justru menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Bahwa sebagai Negara yang berideologikan Pancasila, kondisi ini sebetulnya bertolak belakang dari hakikat  dan keberadaan kita yang mengideologikan Pancasila sebagai ideology bangsa. Data tersebut justru memalukan untuk bangsa yang berakhlak.  Semakin keras perjuangan melawan korupsi semakin canggih pula strategi yang diciptakan melakukan korupsi. Slogan bahwa Indonesia negeri yang berakhlak justru terbantahkan lewat aktualisasi kepemimpinan rakyat berkedok kepentingan pribadi. Mau dibawah ke mana negeri tercinta ini? Seruan-seruan yang menguak tabir kebangsatan korupsi seolah kebablasan dan sulit untuk dikatakan menembus ranah implementasinya. Apa yang salah?

Melawan korupsi membutuhkan karakter yang kokoh melawan kemapanan birokrasi. Kampanye antikorupsi sejatinya membutuhkan konsistensi dalam pikiran dan tindakan. Oleh karena itu, kaum intelektual  sudah semestinya membangkitkan kesadaran kolektif dalam membaca krisis kebangsaan sekaligus mengurai relevansi persoalan bangsa dalam kaitannya dengan korupsi. Sangatlah naïf jika kita berpikir korupsi hanyalah bagian dari kompleksitas persoalan sebuah bangsa tanpa adanya upaya untuk menelusuri, menelaah, dan mengurai fenomena di balik adanya korupsi. Kaum intelektual hendaknya berpikir secara rasional, kritis, dan solutif di tengah gejolak zaman yang tak terkontrol, sarat akan problematika. Justru di situlah peran konkrit kaum intelektual sangat dinantikan. Sudah semestinya panggung demokrasi dimaknai sebagai sebuah ruang untuk menyalurkan aspirasi. Kampanye antikorupsi bukan sekedar wacana tak terukur tetapi kritik sosial yang menggema demi menjadi inspirasi terbukanya ruang kesadaran elite politik negeri ini untuk memperbaiki kinerja pemerintahan dan mengayomi masyarakat. Dalam pada itu, kaum intelektual hendaknnya berada dipihak oposisi dalam kaitannya menentang korupsi dalam berbagai bentuk dan caranya. Perjuangan melawan korupsi mesti menjadi refleksi kritis dan radikal yang terimplementasi lewat tindakan konkrit bermartabat. Melawan korupsi mesti menjadi panggilan hidup kaum intelektual sekalipun di saat bersamaan penuh resiko.

Oleh sebab itu, demi bukan hanya menunjukan eksistensi kaum intelektual  tetapi lebih daripada itu menyoal keprihatinan kaum intelektual terhadap korupsi yang menjadi wabah penyakit akut yang menerpa Ibu pertiwi, sudah sepantasnyalah jika kaum intelektual terjun dan mengurai korupsi sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial terhadap Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun