Di tengah  isu angka pengangguran yang katanya bakal tembus di angka 5 juta orang akibat pandemi Corona, lulusan SMK pun harus menjawab tantangan pasar kerja yang makin kompetitif. Sebut saja untuk daerah Bandarlampung yang memiliki lebih dari 2.000 lulusan di tahun 2020. Kalau dihitung kasar jika bulan Februari 2019 jumlah pengangguran ada di kisaran 7 jutaan saja, maka sekarang angka itu melonjak di kisaran 12 juta. Angka yang signifikan mengingat lulusan SMK berdasarkan data BPS mendominasi angka tersebut.
Aku sendiri sebagai guru sebuah SMK swasta di Bandar Lampung tahun ini tak dapat menjamin kompetensi lulusan tahun ini, mengingat standar kompetensi lulusan yang belum terpenuhi.Â
Standar kompetensi yang dapat menjamin lulusan siap bersaing di pasar kerja. Padahal jumlah lulusan di sekolahku berjumlah 334 siswa. Meski aku pun kurang setuju jika dikatakan bahwa lulusan SMK mendominasi jumlah pengangguran di Indonesia.
Mengapa kubilang demikian? Aku pernah ngobrol dengan seorang teman yang dulunya adalah muridku. Sekarang ia punya bengkel motor sendiri. Padahal ia dulu dikenal sebagai anak yang nakal dan malas. Ia bilang padaku bahwa pendidikan di SMK yang katanya kejuruan pun masih bersifat teori. Bahkan, ia tak temukan ilmu praktis yang ia dapatkan di dunia usaha/bengkelnya.
 "Aku ngerasa gak dapat apa-apa, Bu." katanya. "Apalagi peralatan di bengkel sekolah banyak yang out of date. Jadul." Aku pun hanya tersenyum malu. "Ditambah gurunya banyak yang gak paham dengan yang diajarkan. Bikin aku tambah gak ngerti," tambahnya lagi.Â
Berdasarkan percakapan itu aku pun jadi berpikir. Kalau anak yang katanya nakal (sayangnya sebagian besar anak SMK itu nakal) saja bisa sukses, gimana dengan yang anak yang (katanya) baik.Â
Nah, di situlah aku salah. Data yang terhimpun di BKK sekolah per tahun 2019 menyatakan bahwa lebih dari 70% lulusan siswa yang berjumlah 333 adalah enterpreneur. Sedangkan 30% sisanya melanjutkan perguruan tinggi dan bekerja serabutan. Angka tersebut menunjukkan lulusan SMK tidak menganggur. Mereka hanya lebih memilih self employee atau jadi enterpreneur. Dan, anak-anak itu adalah yang masuk dalam kategori anak yang (katanya) nakal.
Kenapa hal itu terjadi? Maksudku kenapa aku dan sebagian besar guru bisa salah dalam menilai siswa, termasuk menilai lulusan? Mungkin itu terjadi karena cara pendidikan guru yang masih belum menyesuaikan zaman. Mungkin juga karena guru belum memahami bahwa siswa itu tak semuanya ahli komputer, sebagian ada yang ahli mesin mobil, motor, listrik atau animasi. Mereka adalah spesial. Dan, saat mereka tak mendapatkan perlakuan sesuai dengan keunikan mereka, mereka tak akan bisa berkembang sesuai yang diharapkan.Â
Untungnya, anak SMK yang (katanya) nakal  itu adalah anak -anak yang ekspresive dan suka tantangan. Mereka tak akan membiarkan diri mereka menyerah untuk mencapai tujuannya. Bekerja. Tentu saja sesuai dengan bidang vokasi yang mereka suka. Buktinya, contoh siswaku yang bisa sukses punya dua bengkel motor dan mobil, meski hanya bermodal nekat.
Modal berani mengambil risiko adalah salah satu kunci sukses lulusan SMK menjawab tantangan Corona. Berbekal pengetahuan dan rasa tanggung jawab pada keluarga, kupikir mereka bisa bertahan dan terus berkompetisi di pasar kerja.Â
Bisa dikatakan tugas guru dan sekolah adalah menciptakan peluang bagi siswa untuk berkreasi dan berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya, serta mendukung unit usaha yang dikerjakan siswa. Karena tanpa dukungan semua pihak, lulusan SMK mungkin tak bedanya dengan anak SMK yang lebih punya kecenderungan untuk bekerja pada orang lain.