Pasar Koga sepi. Sama seperti kemarin. Aku bisa melihat para pedagang yang sibuk ngobrol dengan pedagang lain. Sejauh mata memandang, hanya tampak pedagang yang berkeliling. Akhirnya, mereka saling bertukar dagangan.Â
Ada yang menukar beras dengan sayur, ikan, atau buah. Jika uang kurang mereka akan menambahnya dengan dagangan esok hari. Sambil tersenyum dan tertawa aku memperhatikan mereka.Â
Sementara aku yang berjualan mainan tak begitu merasa khawatir, karena daganganku tidak layu atau busuk. Kemungkinan terburuk barang daganganku adalah rusak karena pecah, atau tidak berfungsi. Hal yang hampir jarang terjadi.
"Hari ini barang daganganku tidak laku sama sekali. Aku nombok bayar salar (retribusi harian pasar) lima ribu rupiah," keluh Bu Ani. Ia menghela napas sambil duduk  di kursi yang tergeletak di sampingku. Kursi plastik itu berderit menahan berat tubuh Bu Ani. Aku meringis, khawatir kursi plastik itu patah. Mataku melihat seekor tikus kecil yang berlarian di sudut kotak kayu Pak Warno, penjual sayur di hadapanku.
"Hii, itu tikus, ya?" Bu Ani setengah bertanya sambil memegang tanganku erat. Aku mengangguk.
"Di Koga kan memang banyak tikus, Bu. Namanya juga pasar tradisional."
Bu Ani mengangguk. "Ibu lebih takut dengan kucing." Ia bergidik. Kurasakan tangannya bergetar. Sepertinya ia pun takut dengan tikus.Â
"Sudah beberapa hari ini tak ada tikus berlarian di pasar." Aku menggumam.
"Kenapa?" Bu Ani memandangku heran.
Aku mengangkat bahu. "Tidak tahu, Bu. Kata orang, tiap sore jam 5 an ada yang bawa karung dan menangkapi tikus-tikus itu. Entah untuk apa."
"Serem, ya." Bu Ani bergidik. Aku juga. Membayangkan apa yang terjadi  dengan tikus-tikus itu. "Jangan-jangan dijadiin bakso."
"Aku nggak mau membayangkan, Bu, "kataku sambil menahan mual. "Jijik."
"Iya." Bu Ani mengangguk. Lalu, kami pun terdiam. Larut dengan pikiran kami masing-masing.
Aku ingat Bu Ani pernah hampir pingsan karena ada yang pernah bercanda menggodanya dengan seekor kucing kecil. Aku menggelengkan kepalaku. Terkadang, orang dewasa pun bisa bertingkah seperti anak kecil.
Mataku menatap langit yang mendung dari atap warungku yang bolong-bolong. Sebagian atap toko dan warung di Pasar Koga memang sudah tidak terawat karena kondisinya yang sudah tua.Â
Sebagian pedagang lama juga sudah meninggalkan pasar koga. Pindah ke pasar lain yang lebih ramai. Bahkan, hari libur seperti Imlek kemarin yang biasanya agak ramai, tidak berpengaruh.Â
Pasar makin bertambah sepi. Aku perhatikan pasar-pasat tradisional di Bandarlampung yang lain pun mengalami nasib yang sama.
"Sekarang tambah sepi, Mbak," kata Pak Slamet, penjual tempe tetanggaku yang biasanya sudah habis dagangannya di jam 9 pagi. Sekarang sampai jam 3 sore pun dagangannya masih banyak.
"Iya, beda dengan dulu." Bude Warno, penjual getuk pun mengatakan hal yang sama. "Dulu, bude bisa dapat hampir Dua ratus ribu lebih sehari. Sekarang dapat lima puluh ribu pun sudah bersyukur."
"Iya, Bude. Yang penting bersyukur, ya."
"Iya, besok kan masih ada." Bude Warno tersenyum. "Lupakan yang tak menyenangkan. Banyak bersyukur. Pasti bahagia."
"Setuju, Bude." Aku mengangguk.
"Kalau hari ini hujan deras, besok mungkin terang." Bu Ani menimpali. "Ibu, kemarin mencuci dan menggosok barang jualan ibu yang basah. Igat kan?"Â
Aku mengangguk.
"Lalu, esoknya baju-baju itu ada yang beli." Bu Ani tersenyum. "Meskipun dengan harga modal, ibu sudah beruntung. Barang-barang itu laku terjual."
"Getuk Bude juga kemarin habis, meski Bude kesorean dan kehujanan. Bude basah kuyup sampai rumah" Bude Warno tertawa.
Aku memandangi dua wanita tangguh di hadapanku dengan kagum. Di usia mereka yang tidak muda, mereka tetap bersemangat bekerja meski anak-anak mereka sanggup menafkahi mereka. Mereka tak mau berpangku tangan.Â
Aku teringat prinsip hidup sederhana mereka, para bakul receh yang kerap mereka ucapkan padaku, "Lupakan saja, Hujan dan Panas akan datang lagi esok hari. Tak perlu resah dan khawatir. Bahagia sajalah."
Lalu, aku ingat Pak Danu yang menggoda Bu Ani dengan kucing itu dan kutanyakan pada Bu Ani tentang hal itu.
"Lupakan saja. Toh, mereka sudah minta maaf. Ibu juga tidak apa-apa." Bu Ani tersenyum. Aku hanya diam. Merenungi ucapannya. Mataku menatap tikus yang berlari di sudut kotak menggeret tulang yang entah dari mana. Seekor kucing kecil tertidur di sudut kaki Bude Warno. Aku menggeleng.Â