Akhirnya, Jokowi memutuskan larangan mudik dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Sudah kuduga, keputusan ini akan menuai caci-maki dari geng nyinyir yang hobi menyatroni Medsos. Ada yang bilang keputusan itu sudah terlambat, ada juga yang bilang Jokowi plin-plan, dengan berbagai sumpah-serapahnya. Benarkah tuduhan para laskar nyiyir itu?
Pendapatku tetap sama dengan tulisan sebelumnya, bahwa Jokowi adalah perencana sekaligus eksekutor yang cermat. Larangan mudik yang dia sampaikan dalam Rapat Terbatas pagi tadi (21/04/2020) justru mempertegas kapasitasnya sebagai seorang penghitung yang detil. Kita akan pilah argumen ini satu per satu.
1. Jokowi Plin-plan?
Seperti kusampaikan dalam tulisan sebelumnya, Jokowi selama ini mempersiapkan larangan mudik secara bertahap dan terukur. Ada tiga alasan kenapa larangan itu harus bertahap. Pertama, Indonesia adalah negara demokrasi dengan azas desentralisasi, di mana masyarakat bersifat heterogen dan kekuasaan eksekutif harus dibagi antara pemerintah pusat, daerah hingga pemerintahan desa.
Maka, siapapun presiden Indonesia harus memastikan kebijakannya berlanjut dan sinergis dari level pusat hingga ke desa-desa, bahkan di level komunitas dan RT/ RW. Karena darurat virus ini berbeda dengan darurat bersenjata, maka butuh waktu untuk menyamakan persepsi 34 gubernur, 514 Bupati/ Walikota, 83.931 Kepala Desa/ lurah dan 270 juta penduduk Indonesia.
Alasan kedua, seperti yang disampaikan WHO dan diakui seluruh negara, kunci keberhasilan melawan pandemi ini adalah kesadaran publik. Sudah tentu, membangun kesadaran kolektif untuk menangani virus ini harus dllakukan bertahap, dengan melibatkan seluruh lapis pemerintahan dari pusat hingga level Desa, bahkan sampai ke komunitas RT/RW.
Dan alasan ketiga, pelarangan secara bertahap ini juga dilakukan sembari membersihkan kerikil-kerikil yang mengganjal eksekusi kebijakan. Penting digarisbawahi, dalam negara demokratis dan plural sepeti Indonesia, kekuasaan tak pernah utuh. Ketika pemerintah melakukan keputusan ekstrim, selalu ada kelompok yang mengintai untuk berbuat onar. Kelompok inilah yang tengah ditertibkan pemerintah, termasuk para jihadis yang menunggu situasi rusuh untuk membusukkan negara dan mengambil alih kekuasaan.
Dari realitas itu, dapat disimpulkan bahwa Jokowi sengaja melakukan pelarangan mudik ini secara bertahap, sembari mengondisikan infrastruktur pemerintahan secara berjenjang, mengondisikan kesadaran warga dan membereskan berbagai ancaman yang bermaksud memanfaatkan situasi chaos. Tentu saja, semua itu dilakukan seiring peningkatan kapasitas kesehatan dalam menangani pandemi.
2. Larangan Mudik Sudah Terlambat?
Persoalan kedua, benarkah keputusan melarang mudik ini sudah terlambat? Jika menilik pengalaman negara-negara lain, keputusan tergesa-gesa justru memicu masalah baru. Di India, jutaan pekerja melakukan eksodus massal dan menyebabkan kekacauan serta kecelakaan di mana-mana. Ternyata, itu pun belum efektif menekan pandemi sehingga lockdown di India harus diperpanjang, dan direspon dengan bentrokan berdarah antara kaum miskin dengan aparat.
Pemerintah Italia yang tergesa-gesa memutuskan lockdown pada 9 maret, juga berlum berhasil menekan sebaran virus. Sebaliknya, virus menyebar tak terkendali hingga petugas medis kewalahan, dan angka kematian melonjak sangat tinggi. Ketidaksesuaian antara kebijakan dengan realitas itu juga tercermin dalam PSBB DKI Jakarta yang tak serta-merta membuat warga berdiam diri di rumah. Jalanan, pasar, warung masih ramai dan banyak warga masih melanggar social distancing.