Dalam Pilpres 2019 lalu, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) adalah salah satu medan pertarungan yang berat bagi pasangan Jokowi-Amin. Hal itu terlihat pada hasil perolehan suara, di mana Pasangan Jokowi-Amin hanya memperoleh 14.41% suara, kalah jauh oleh Prabowo-Sandi yang mengantongi 85.59% suara.Â
Namun catatan itu tak menyurutkan perhatian Jokowi terhadap provinsi di ujung barat Indonesia tersebut. Di tengah agenda kepresidenan yang padat, Jokowi tetap menghadiri "Kenduri Kebangsaan" di Aceh (22/02/2020). Hal itu menunjukkan sikap kenegarawanannya yang sangat kental. Dalam pidato sambutannya, Jokowi juga menekankan spektrum kebangsaan yang kuat terkait masyarakat Aceh di tengah ke-Indonesia-an.
1. Mengembalikan Kemajemukan Aceh
Di awal pidatonya, Jokowi menyampaikan apresiasi terhadap tari Rato Jaro, yang menuai standing ovation pada pembukaan Asian Games 2018. Menurut Jokowi, tarian asli Aceh itu mencerminkan tradisi Aceh yang dinamis dan sarat nilai toleransi, keislaman serta kemaritiman. Dan memang, Aceh memiliki sejarah inklusifitaas yang panjang. Bahkan, istilah Aceh dipercaya sebagai akronim Arab, China, Eropa dan Hindia.Â
Artinya, Aceh terbentuk dari akulturasi budaya yang panjang dan beragam, menghasilkan tradisi yang dinamis, inklusif sekaligus menempa semangat perlawanan yang tangguh saat menghadapi agresi kolonial. Sayangnya, tradisi kemajemukan itu surut seiring konflik senjata berkepanjangan yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik ini baru reda pasca MoU Helsinki pada 2005, yang masih menyisakan beberapa pekerjaan untuk dituntaskan.
2. Memastikan Anggaran untuk Rakyat
13 Februari lalu, perwakilan Wali Nangroe bertandang ke Istana Negara untuk membahas penuntasan MoU Helsinki, salah satunya terkait pemasyarakatan kembali eks kombatan GAM. Pada pidato Kenduri Nasional, Jokowi menanggapi bahwa pemerintah tengah membahas penuntatasan tersebut. Namun yang tak kalah penting, Jokowi menekankan bahwa pemerintah daerah Aceh, baik level provinsi maupun kabupaten/kota harus menjamin akutabilitas anggarannya.Â
Tanpa basa-basi, Jokowi menyinggung bahwa dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh mencapai 8 triliun pada tahun terakhir, dan masih ditambah APBD 9 triliun. Sayangnya, pemanfaatan anggaran itu belum optimal, sehingga Jokowi menawarkan asistensi kalau memang dibutuhkan. Tanpa beban, Jokowi menyampaikan semua itu secara lugas di depan Gubernur Aceh sendiri, mengingat dana sebesar itu memang harus dioptimalkan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Aceh.
3. Sinergi Pusat-Daerah untuk Kemakmuran Rakyat
Ketegasan Jokowi terkait anggaran daerah tidaklah berlebihan, mengingat Aceh masih mencatat 14% angka kemiskinan. Untuk mengatasi itu, diperlukan kolaborasi sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan warga Aceh sendiri. Pemerintah Pusat sudah mengalokasikan dana otonomi khusus, maka pemerintah daerah dan rakyat Aceh harus memanfaatkan sebaik mungkin untuk kemajuan Aceh.Â
Bahkan, Jokowi juga sudah berbicara langsung dengan investor besar dari Uni Emirat Arab, Syeh Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Pengusaha dengan kekayaan 1.4 triliun USD ini berkomitmen investasi di Aceh, namun perlu kepastian pemerintah daerah setempat. Di situlah letak penting sinergi antar level pemerintahan. Untungnya, Aceh memiliki catatan positif dalam pembangunan infrastruktur belakangan in, di mana proses pembebasan lahan relatif berjalan cepat dibanding daerah lain. Dengan begitu, sehingga sinergi antar level pemerintahan berjalan lebih baik.