Lima tahun terakhir, Indonesia mencatat perubahan revolusioner dalam membangun fondasi iklim usaha. Hal itu terlihat pada lompatan signifikan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing business/ EoDB) Indonesia. Pada 2013 dan 2014, peringkat EoDB Indonesia macet di angka 120. Baru pada 2015, peringkat Indonesia meloncat jauh menjadi 106, dan pada 2016 kembali melambung pada rangking 72 dari 190 negara. Sayangnya, perubahan cepat itu kembali melambat pada 2018 yang turun tipis menjadi peringkat 73, dan kembali tertahan di peringkat yang sama pada 2019. Meskipun begitu, skor EoDB Indonesia dua tahun terakhir itu tetap terus menanjak. Karena itulah, Jokowi menggelar Rapat Terbatas (Ratas) Akselerasi Peningkatan Peringkat Kemudahan Berusaha (12/02/2020). Ada beberapa catatan terkait peningkatan kemudahan berusaha ini.
1. Menumbuhkan Iklim Wirausaha
Banyak yang mengkritik tenaga kerja kita yang selama ini lebih dididik menjadi karyawan, bukan menjadi pengusaha. Karena itu, angkatan kerja Indonesia pun lebih sibuk mencari dan melamar pekerjaan, daripada menciptakan lapangan kerja baru. Namun semua itu bukan semata masalah angkatan kerja, tapi juga persoalan sistem yang lebih besar.
Jika menilik statistik EoDB tadi, Indonesia selama ini memang kurang mendukung pembukaan lapangan usaha baru. Dalam memulai perijinan bisnis misalnya, di Indonesia harus menempuh 11 prosedur dengan durasi 13 hari. Ini sangat berbeda dengan Singapura yang hanya perlu 2 prosedur dan bisa selesai dalam 1 hari. Kondisi inilah yang mendorong Jokowi merombak berbagai hambatan usaha, agar tenaga kerja Indonesia tak melulu sibuk mencari lowongan kerja tapi juga berusaha membuka lapangan kerja baru.
2. Menyelaraskan Investasi dan Ekonomi Nasional
Meskipun begitu, sulit dipungkiri bahwa wirausaha bukan hanya keinginan, tapi juga butuh modal. Karena itu, pemerintah juga menyediakan berbagai skema pendanaan, mulai dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga Kredit Ultra Mikro (KUMI). Tapi itu pun belum cukup, karena Indonesia butuh modal yang jauh lebih besar untuk menggerakkan dunia usaha dan menyerap tenaga kerja berskala luas.
Dalam kerangka inilah, Jokowi terus mengakselerasi kesepakatan ekonomi dengan berbagai negara, agar mereka menanamkan modalnya di Indonesia. Meskipun begitu, bukan sembarang investasi yang diundang ke Indonesia, melainkan investasi yang selaras dengan kebutuhan ekonomi nasional. Salah satunya, yaitu investasi bahan terhadap bakar nabati yang menjadi salah satu produk unggulan.
3. Afirmasi untuk BUMN& UMKM
Selain mengutamakan investasi bidang-bidang prioritas, Jokowi juga terus memperkuat dua pilar ekonomi nasional, yaitu BUMN dan UMKM. BUMN merupakan unit ekonomi yang terhubung langsung dengan negara, sementara UMKM adalah representasi ekonomi rakyat yang digerakkan oleh dinamika akar rumput. Meskipun begitu, BUMN juga terus bersinergi dengan pihak-pihak swasta guna menepis monopoli.BUMN dan perusahaan swasta berskala besar juga dikondisikan mengasuh UMKM sebagai mitra sekaligus usaha binaan.
Dengan begitu, koperasi, UMKM, BUMN dan negara menjadi kesatuan ekonomi yang solid menopang ekonomi nasional. Salah satu praktik yang dijalankan, yaitu industri katalis untuk memproduksi Bahan Bakar Nabati dari sawit, yang juga didesain untuk menghidupkan usaha-usaha kecil pengolahan minyak nabati di desa-desa.
Terakhir untuk digarisbawahi, bahwa semua itu harus dilakukan secara sinergis dan komprehensif. Setiap program penguatan ekonomi harus selaras dan terhubung dengan program-program lain, tak bisa jalan sendiri-sendiri. Dalam Ratas hari ini, Jokowi menegaskan bahwa skor EoDB Indonesia harus diakselerasi hingga menduduki peringkat 40 dunia.