Sebelumnya Saya pernah membaca cerita tentang Sisyphos dari filsuf eksistensialis, Albert Camus, yang sudah saya sertakan dibawah ini. Lalu ketika saya membaca kembali buku The Odyssey of Homer, Saya kembali mendapat penggalan cerita ini, yang didalamnya Odysseus sedang bercerita kepada Raja Alcinoos setelah berhasil keluar dari tawanan dewi Calypso dan ratusan penderitaan yang telah ia rasakan selama bertempur dengan pasukan Troy dan pulang menuju istananya, Ithaca.Â
Lalu ia bercerita mengenai perjalanan yang panjang itu kepada Sang raja dan anggota parlemen yang lain, sampai saat dimana Ia menceritakan tentang Sisyphos seorang raja dari kerajaan Elfira yang licik dan tamak. Oddyseus bercerita:Â
"Aku melihat Sisyphos dan tugas beratnya yang membosankan. Ia harus mendorong batu besar dengan dua tangannya ke puncak bukit, setelah batu tiba di puncak bukit, Ia harus menggelindingkannya ke bawah. Setelah itu Ia harus kembali mendorong batu besar itu ke puncak kemudian menjatuhkannya kembali, dan begitu seterusnya."
Sekarang, mari kita lihat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bangun di pagi hari, lalu berangkat kuliah atau bekerja seharian, main sebentar bersama teman-teman, lalu pulang, dan istirahat tidur, besoknya kita mengulanginya lagi. Kalau boleh dibilang, kehidupan kita sehari-hari tak ayal adalah kutukan Sisyphos itu sendiri. Kerja sampai sakit, lalu uangnya kita pakai untuk berobat, atau kerja sampai stress lalu uangnya kita pakai untuk menghilangkan stress. Begitu terus sepanjang hidup kita. Kita mendorong batu kita sendiri-sendiri dan mengulanginya lagi terus menerus. Oleh karena itulah, kita juga menanggung kutukan Sisyphus selama kita hidup.
Kalau hidup begitu monoton apa bedanya dengan kutukan Sisyphus (?) dan memang itulah kehidupan. Bukan hanya manusia tapi juga seluruh makhluk yang hidup di bumi ini. Penggunaan alegori kutukan Sisyphus untuk menggambarkan pola kehidupan yang monoton dipopulerkan kembali oleh seorang filsuf eksistensialis modern bernama Albert Camus. Ia menggambarkan kegiatan repetitif pada kehidupan kita adalah sia-sia, absurd, dan tanpa tujuan. Kehidupan adalah absurd.Â
Sejelas-jelasnya tujuan hidup kita entah dalam jangka pendek atau panjang, kita akan berjuang untuk mencapainya. Kalau dikiaskan sesuai alegori Sisyphos, upaya kita mencapai tujuan tersebut seperti mendorong batu ke puncak bukit. Setelah kita mencapai satu tujuan tertentu yang sudah menjadi pilihan kita lalu kita mencapai kepuasan yang hanyalah sementara dan kita tidak akan berdiam diri selamanya. Karena sifat manusia yang tidak pernah merasakan puas. Lalu kita akan memasang target dan tujuan yang lebih jauh lagi. Seperti ketika kita menangisi kepergian orang yang paling kita cintai untuk satu bahkan dua bulan lamanya, namun setelahnya, kita akan melewati fase itu dan tertawa lagi. Hingga pada akhirnya kita akan mendorong batu tersebut sekali lagi. Lagi dan lagi sampai kepergian akhirnya membawa kita meninggalkan semuanya. Absurd, bukan?
Namun menurut Camus, anggapan kutukan hidup monoton sebagai bentuk penyiksaan itu bisa disangkal jika kita membayangkan Sisyphos merasa berbahagia karena mendorong batu tersebut. Ketidakbermaknaan hidup yang repetitif bisa disangkal jika kita membayangkan kehidupan ini menyenangkan. Penekanan pada konsep ini adalah dengan menggambarkan bahwa mendorong batu adalah sebuah kesenangan Sisyphos dan karena itulah dia senang melakukannya. Menjadi tragedi apabila kita menjalani aktivitas sehari-hari tanpa menanamkan kebahagiaan di setiap detiknya.
Apabila bagi beberapa orang yang merasa terjebak dalam kutukan kehidupan yang monoton dan tak berkesudahan seperti kutukan Sisyphos ini, ingatlah satu hal bahwa kita diberi anugerah untuk bebas. Filsuf Jean Paul Sartre mengatakan bahwa manusia juga menerima kutukan lain yaitu kebebasan. Jika mahluk hidup lain seperti hewan atau tumbuhan hidup monoton dengan melakukan kegiatan repetitifnya untuk tumbuh, bertahan hidup, berkembangbiak, dan melestarikan spesiesnya, kutukan akan kebebasan membuat manusia bisa sedikit melonggarkan kutukan Sisyphos yang menjangkiti kita.
Berbeda dengan makhluk hidup lain, kita manusia dapat bebas memilih batu mana yang lebih mudah untuk didorong, rute baru mana yang lebih bermakna untuk dilalui, ataupun puncak bukit mana yang dapat memberikan lebih banyak kebahagiaan setelah kita tersengal-sengal mendorong batu. Memang, kutukan Sisyphos tidak akan pernah terangkat dari kita selama kita hidup di dunia, tapi setidaknya kita dapat berdamai dengannya melalui kebebasan dalam memilih jalan mana yang paling layak untuk dimaknai dan yang paling banyak memberikan kebahagiaan.Â
Meski hidup begitu monoton dan absurd, ingatlah bahwa hidup Kita bukanlah suatu pemberian  orang lain, tapi sesuatu yang Kita pilih sendiri, dan Kita lah yang dapat menentukan bagaimana cara kita menjalani hidup, dan hidup akan bermakna dengan sendirinya.Â