Orang tuanya memberikan anak semata wayangnya kepada keluarga Margareta, penganut Nasrani, bukan karena orang tuanya tidak menyayangi anak itu, orang tuanya si anak hanya menginginkan agar supaya anaknya itu dapat menempuh pendidikan yang baik hingga ke perguruan tinggi, dan juga keluarga Margareta tidak mempunyai anak.
Anak itu berasal dari keluarga Muslim yang taat, karena sedari kecil ia diikutkan ke keluarga yang berbeda keyakinan, setiap hari keluarga Margareta mendatangkan pembantu rumah tangga yang mempunyai kesamaan keyakinan yakni Islam, supaya si anak sebut saja namanya Hasan dapat mempelajari agama yang dianut oleh kedua orang tuanya, Islam.
Berada dalam keluarga Nasrani, dan mendapat bimbingan dari ustadz pribadinya, Hasan tumbuh menjadi seorang yang cerdas dan toleran, karena bagaimanapun juga orang tua angkatnya berbeda keyakinan dengan dirinya. Ustadz pribadinya senantiasa meneladankan toleransi.
Hingga Hasan kuliah, semangat keagamaannyasemakin terpupuk dengan baik, ia merasa bahwa keyakinannya adalah keyakinan yang paling sempurna, paling baik, dan paling benar. Hasan yang dahulunya adalah seorang pribadi yang lembut, berubah menjadi pribadi yang keras, ia menolak ragam dan rupa perbedaan.
Menurut Hasan, jika ada pihak yang berseberangan dengan nilai yang ia anut, berarti orang yang berseberangan itu salah! Keluarga Margareta yang sedari kecil turut membesarkannya dengan penuh kasih tak luput dari serangan atas sikap kerasnya Hasan.
Hasan pergi dari rumah keluarga Margareta, ia mengikuti beberapa pengajian yang mengorbarkan semangatnya untuk berjuang di jalan Tuhan, darah mudanya sangat cocok untuk se-usia dirinya, berapi-api.
Sampailah pada kerusuhan masyarakat, di mana ada gejolak keagamaan di sana, masyarakat Muslim bentrok dengan masyarakat Nasrani. Hasan tentu saja membela agama yang ia anut, Islam. Ia menilai bahwa dengan membela Tuhan serta membunuh orang Nasrani, ia akan mendapat balas jasa yang setimpal dari Tuhan.
Kerusuhan begitu mencekam, Hasan yang masih ingat di mana rumah keluarga Margareta tak melewatkannya begitu saja. Ia dobrak pintu keluarga Margareta dengan kencang, matanya mencari ke sana kemari dengan tajam. Ruang tamu kosong, dapur tidak ada orang, di ruang belakang tidak ada orang.
Di luar sudut ruangan kecil, keluarga Margareta sering menyebutnya Musholla Hasan. Karena bagaimanapun juga Hasan sedari kecil selalu beribadah di Musholla kecil itu. Nampak seorang perempuan tua Kristen berkalung salib berdoa dari luar Musholla.
Dicengkeramnya rambut perempuan itu penuh daya. Dan Hasan menatap dalam-dalam perempuan Kristen itu. Hasan mengangkat tinggi-tinggi pedangnya, Hasan tentu saja masih ingat bahwa perempuan itu adalah ibu angkatnya yang membesarkannya sedari kecil.
Dan perempuan tua yang bernama Margareta itu, mengucapkan beberapa kalimat, “Hasan… kamu telah pulang Nak…? Kenapa kamu membawa pedang seperti itu?”
Air mata Hasan meleleh deras, tangannya gemetaran, tubuhnya yang kekar didera kelumpuhan hebat. Dalam hatinya ia dilema dengan dahsyatnya, “Di depanku ini ada seorang perempuan tua, dan yang kucengkeram rambutnya tanpa perasaan ini adalah ibuku, sementara itu tangan kananku memegang sebuah pedang yang tajamnya minta ampun. Demi Tuhan… setan apa yang merasuki sukmaku ini…?”
Tanpa rasa takut sedikit pun, ibu Margareta, menyuruh Hasan menyarungkan pedangnya. Dan Hasan menyarungkan pedangnya. Hasan menangis… Ia meminta maaf pada ibundanya tercinta.
Sebuah tombak datang ke jantung ibu Margareta. Hasan yang tak habis pikir, ada rekannya yang menusuk ibunya dari belakang.
Setelah peristiwa itu, Hasan depresi berat. Dan membutuhkan beberapa waktu yang lama untuk menyembuhkan luka batinnya.
Di suatu waktu, ia berdiri sendirian di depan gerbang gereja St Assisi, tempat di mana keluarga Margareta sering beribadah setiap kamis, Jumat, dan Minggu pagi. Menurutnya, “Selama ini, agama itu untuk apa, jika digunakan untuk saling menebar kebencian? Bunda…, meski terlambat menyadarinya, aku minta maaf. Aku berjanji hidupku akan kubaktikan untuk kasih sayang, seperti Yesus. Meski aku tidak akan pindah agama seperti yang engkau anut. Ibu maafkan aku.” Dalam sepinya ia merenung. Kemudian ia mendoakan ibundanya.
“Kau pernah mengatakan kepadaku dulu sembari mengelus rambutku, bahwa nabiku, junjunganku, Muhammad adalah orang yang penyayang terhadap siapapun.” Hasan menggelengkan kepalanya mengenang masa kecilnya, ia merasa malu untuk menatap langit. “Astaghfirullah…., Astaghfirullah…, Astaghfirullah.” Gumamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H